07 September 2010

Pola Pikir II: Logika Spiritual dan Logika Material

Berdasarkan pengamatan dan klasifikasi sederhana yang saya lakukan, manusia dari cara berpikirnya terpola menjadi dua macam. Yang pertama adalah pola pikir dengan menggunakan logika spiritual dan yang kedua adalah pola pikir dengan menggunakan logika material. Perbedaan ini bersifat essensial, artinya adalah perbedaan ini tidak didasarkan pada perbedaan secara lahiriah atau perbedaan berdasarkan status sosial, tetapi perbedaan yang berlaku pada seseorang tanpa membedakan kondisi fisiknya.
Logika Spiritual
Seseorang yang menggunakan logika spiritual dalam hidupnya akan menjadikan ridho Allah sebagai tujuan utama. Dia akan selalu menyandarkan tingkah lakunya pada keridloaan Tuhannya. Karena kalau tidak seperti itu dia akan malas untuk menjalani hidup. Dengan hidup untuk menyenangkan Tuhan dia akan lebih bersemangat dalam beraktifitas sehari-hari.
Lebih menghargai proses dalam bekerja. Usaha, kerja keras, bersabar atau berhasil mencapai rintangan merupakan hal yang menggairahkan dan menantang. Seperti main extreme game yang dapat memacu adrenalin. Hasil bukanlah hal yang utama, sedangkan keberhasilan merupakan bonus kehidupan yang pantas diterima dengan senang hati. Orang yang berpola pikir seperti ini tidak suka mencari jalan pintas untuk mencapai tujuan. Menjalani proses merupakan kenikmatan yang diakhiri dengan hasil yang mantap dan berkualitas.
Kepuasan batin selalu menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan hidup. Selalu mempelajari sesuatu dan bekerja sesuai dengan minat.Tidak menyesal dan tidak menggerutu merupakan konsekwensi logis dari sikap ini.
Lebih menekankan pada makna. Kelanjutan dari kepuasan batin adalah menemukan makna. Seperti orang yang punya hobi minum teh, maka setiap seruputan merupakan kenikmatan yang tiada tara yang selalu ingin dia ulangi berkali-kali. Atau seperti orang yang hobi membaca, menikmati huruf per huruf, kata per kata dan seterusnya merupakan sesuatu yang menggairahkan. Hatinya selalu riang gembira, jasmaninya sehat, awet muda dan insya Allah juga awet hidup.
Menemukan rasa syukur. Orang yang bisa menemukan rasa syukur pada dirinya akan dapat merasakan bahwa setiap detik, menit, jam, hari dan seterusnya terdapat kelimpahan kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan pada dirinya.
Tolok ukur dari perbuatannya adalah kualitas spiritual atau barakah. Sehingga hal ini akan mendorongnya untuk selalu menempuh jalan yang benar, terhormat dan pantas. Kaya terhormat, miskin bermartabat adalah adagium yang selalu dipegangnya.
Mempunyai rasa rendah hati atau empati. Diri selalu merasa kurang, merasa masih miskin, belum pintar, belum banyak amal baik, takut kalau nggak masuk surga, takut amal ibadahnya tidak diterima oleh Allah SWT, merasa tidak tampan atau tidak cantik dan seterusnya, dimana semua itu akan mendorongnya untuk bersikap rendah hati.
Mudah berbagi. Kebahagiaan dan kesenangan pada dirinya ingin juga dibagi dengan orang lain. Senang melihat orang lain senang, bukan malah sebaliknya, tidak senang melihat orang lain senang, akan mendorong dirinya untuk selalu menebar kebaikan dan kemanfaatan di tengah-tengah sesama.
Menemukan jati diri karena selalu melihat diri sendiri. Pertanyaan mengapa, untuk apa dan bagaimana hidup dijalani merupakan pertanyaan yang selalu muncul dan harus segera dijawab setiap saat. Dengan sedini mungkin menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan membuat seseorang menjadi bijak dan arif dalam memandang kehidupan.
Menghayati setiap fase kehidupan. Setiap fase kehidupan mempunyai kenangan unik. Seseorang yang penuh dengan kualitas spiritual tidak akan membiarkan setiap fase kehidupannya berlalu dengan sia-sia. Setiap fase kehidupan harus diisi dengan jejak yang unik pula.
Logika Material
Sedangkan orang yang menggunakan logika material dalam hidupnya akan selalu mencari pengakuan manusia berupa pujian, simpati, kekaguman dan superioritas. Supaya dikatakan sebagai orang kaya, intelektual, alim, religius dan berpengaruh. Walaupun akhirnya malah kelihatan janggal dan lucu.
Lebih menghargai hasil daripada proses, dengan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Korupsi, kolusi atau kongkalikong, nepotisme atau perkoncoan/perduluran, menabrak prosedur baku yang sudah menjadi ketentuan merupakan hal yang biasa dan tidak menjadi soal.
Tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan atau kesejahteraan secara fisik. Makan enak, rumah nyaman, tidak mau sedikit sengsara, ingin hasil besar tapi tidak mau berusaha atau ingin bersenang-senang setiap hari tanpa bersusah payah. Orang seperti ini akan selalu memegang semboyan: muda foya-foya, tua bahagia, mati masuk surga.
Mempunyai kehidupan yang hampa dan tidak menemukan ketenangan, karena selalu memandang bahwa kehidupan di dunia ini adalah persaingan dengan orang lain. Selalu memposisikan dirinya sebagai sosok yang paling unggul baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Jika dalam lingkungan besar dia kalah, maka dia akan mencari lingkungan kecil di mana dia menjadi yang paling unggul.
Sulit mendapatkan rasa syukur, walaupun setiap saat secara fisik lidahnya mengucap syukur Alhamdulillah tetapi hatinya berkata lain. Orang yang demikian tidak akan bisa melihat apalagi menghargai tambahan rizqi setiap hari yang diberikan oleh Tuhan pada dirinya. Selalu merasa kurang..kurang..kurang.. adalah sifat yang melekat.
Yang menjadi tolok ukur keberhasilan hidupnya adalah kelimpahan materi. Rumah bagus supaya tamu yang datang ke rumahnya berdecak kagum, mobil bagus supaya kehadirannya dalam sebuah acara diperhitungkan, isteri cantik atau suami ganteng supaya pantas diajak untuk menghadiri resepsi pernikahan, atau anak berprestasi agar bisa dipamerkan pada teman-temannya dalam arisan maupun pengajian. Semua itu merupakan hal yang harus dicapai dalam hidup. Kalau perlu dengan menempuh segala cara meskipun tidak pantas.
Mempunyai sifat takabbur dan individualis. Semua orang dianggap berada dibawahnya dan secara otomatis harus melayani dirinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Membentak dan memaki orang lain adalah kebiasaan rutin dari orang seperti ini.
Tidak mau berbagi, kalaupun mau berbagi karena ada pamrih, yaitu untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Tidak ubahnya seperti para politikus yang membeli suara rakyat dalam pemilu atau pilkada dengan cara membagi uang, sembako dan kaos supaya terpilih. Setelah tidak ada kesempatan untuk maju lagi, menjadi malas untuk berbagi.
Tidak mampu menemukan jati diri, karena sibuk melihat segala hal yang berada di luar dirinya. Kehidupannya hanya mondar-mandir di dunia tanpa tujuan pasti yang kemudian ditutup dengan kematian.

Pola Pikir I: Realitas Non Inderawi



Dalam beraktifitas sehari-hari tentu banyak hal menarik yang bisa kita amati dan amat sayang kalau hal itu dibiarkan berlalu begitu saja. Interaksi dengan warga di kampung, lingkungan kerja maupun keluarga tentunya merupakan tempat bagi kita untuk banyak mengambil pelajaran. Otak kita setiap hari menerima jutaan input dari lingkungan sekitar. Kita bisa memilah dan memilih dari jutaan input tersebut hal-hal yang berupa pelajaran dan hal-hal yang sangat menyenangkan dan menggairahkan bagi kehidupan.

Hal-hal yang berharga itu bisa kita dapatkan apabila kita menggunakan pengalaman empirik sehari-hari yang kemudian dipoles dengan intuisi. Panca indera sebagai alat untuk mendapatkan pengalaman empirik atau menemukan realitas yang obyektif, sedangkan mata hati merupakan alat untuk meraih realitas yang terdapat di balik kenyataan empirik.

Banyak hal yang telah ditemukan oleh panca indera manusia, tetapi realitasnya manusia telah tertipu, karena manusia lupa bahwa terdapat realitas lain di balik setiap yang terlihat oleh mata. Tidak kita ketahui bukan berarti sesuatu itu tidak ada, demikian kata filosof postmodern.

Sebagaimana warna-warni yang berada di tengah malam yang gelap, hanyalah warna yang terkena pantulan cahaya terang yang tertangkap penglihatan. Akan tetapi, ketika mata tak mampu menembusnya, semua warna hanyalah hitam pekat. Oleh karena itulah, manusia tidak mampu berjalan dalam kehidupan dengan baik.

Dengan demikian, realitas mana yang dicari manusia? Hati nurani adalah alat untuk melihat setiap realitas lain di samping realitas yang inderawi. Karena pada umumnya banyak orang yang melihat, tetapi senyatanya tidak memperhatikan.

Di antara banyak realitas non inderawi dan sering diabaikan manusia adalah pola pikir seseorang. Kehidupan seseorang ditentukan oleh pola berpikirnya. Dr. Ibrahim Elfiky yang berjudul Quwwat al-Tafkīr (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Terapi Berpikir Positif dan diterbitkan oleh penerbit Zaman).

Pikiran dapat melahirkan mindset, memengaruhi intelektualitas, fisik, perasaan, sikap, hasil, citra diri, harga diri, rasa percaya diri, kondisi jiwa, kondisi kesehatan, menambah atau mengurangi energi dan melahirkan kebiasaan. Tujuan hidup, kebahagiaan, kesengsaraan, kehampaan atau kebermaknaan bahkan kesehatan jasmani akan dikendalikan oleh apa yang ada di dalam pikiran. Pola atau cara berpikir seseorang sedemikian penting kedudukannya dalam kehidupan seseorang.

01 August 2010

Indonesia: Demokrasi atau Kleptokrasi?


Sudah beberapa dasawarsa Indonesia berdemokrasi, tentunya dengan demokrasi muncul harapan supaya segala sendi kehidupan menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Kita berharap punya pemerintahan yang legitimate dan berwibawa. Tapi sampai sekarang rasanya masih jauh panggang daripada api, kesengsaraan rakyat dan berbagai ketimpangan ekonomi masih sering kita lihat di media massa baik cetak maupun elektronik. Berita korupsi para pejabat, penghamburan uang rakyat oleh anggota dewan, perbuatan amoral, kemiskinan dan banyaknya aparat hukum yang dihukum sudah cukup sebagai bukti.

Demokrasi itu mahal, hal ini dapat dilihat dari anggaran Pilkada setingkat kabupaten yang berjumlah sampai ratusan milyar. Jika kita kalkulasi jumlah biaya pilkada yang digelar di seluruh Indonesia mungkin kita akan geleng-geleng kepala, apakah tidak sebaiknya kalau jumlah sebesar itu digunakan untuk program pengentasan kemiskinan di Indonesia. Mungkin ada yang beralasan, semua itu dibutuhkan demi legitimasi pemerintahan. Tanpa pemerintahan yang sah dan legitimate rencana pembangunan tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan didukung oleh semua elemen bangsa. Hukum tidak akan bisa ditegakkan. Tetapi apa yang terjadi?

Hukum ternyata dibuat oleh mereka yang punya kekuasaan, bukan oleh mereka yang punya kebenaran. Yang berbicara bukan lagi para pakar dengan teori-teorinya, tapi orang biasa –dengan kesalahan-kesalahannya, dengan nafsunya, dengan ketakutannya, dengan keinginan dan seleranya. Kita hidup bersama mereka atau bahkan kita diatur oleh mereka. Nilai-nilai berpolitik ditentukan oleh pasar dan jumlah suara yang terbesar. Yang ada hanya undang-undang, padahal kita tahu undang-undang lahir dari perundingan yang tak selamanya bersih. Pembentukan undang-undang selalu dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan banyak pihak yang kadang dipaksakan.

Demokrasi di Indonesia adalah arena jual beli tempat partai bisa berniaga dengan berbagai komoditas yang dimilikinya. Jabatan publik atau posisi menteri adalah komoditas yang dapat ditukar dengan dukungan partai terhadap pemerintah melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Kebijakan pajak yang diberlakukan oleh pemerintah lewat Menteri Keuangan ditukar dengan kestabilan koalisi mendukung pemerintah. Dalam konteks ini, faktor uang, kemampuan intimidasi, sepotong informasi rahasia dan rekam jejak personal bisa masuk kalkulasi pembuatan deal politik. Bersikap kritis dan berbalik arah (plinthat-plinthut) adalah bagian dari proses negosiasi yang dilakukan partai-partai itu.

Demokrasi pada akhirnya merupakan perkembangan yang merusak karena telah memberikan kontribusi bagi pembentukan patologis dalam sebuah masyarakat. Membiarkan masyarakat awam menentukan putusan-putusan politik, menjadi mayoritas di dalam negara dan kebudayaan, yang diduga akan mewujudkan tirani mayoritas yang bebal atas pengembangan selera minoritas.

Kleptokrasi, itulah yang saya kira sesuai untuk menggambarkan Indonesia, sebuah pemerintahan yang tersusun dari sosok dan sistem para maling, begundal dan koruptor. Bukankah dari sejak lahir, kita sering bertemu dengan kecurangan, di kelurahan, di kantor polisi, di kantor penghulu, di sekolah, di perguruan tinggi bahkan di pesantren. Lembaga pendidikanpun yang sebetulnya berfungsi untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang kredibel dan berkompeten beralih fungsi menjadi tempat untuk mengasah kecanggihan trik-trik kecurangan sebagaimana yang kita lihat dalam ujian nasional setiap tahun.

Jadi apakah kita membutuhkan demokrasi? Lee Kuan Yew mantan perdana menteri Singapura pernah mengatakan, untuk menjadi maju negara tidak membutuhkan demokrasi tapi membutuhkan kedisplinan. Itu sudah dibuktikan oleh Singapura. Tanpa demokrasi Singapura mampu menjadi negara yang maju dan berhasil mensejahterakan rakyatnya. Dia bahkan lebih suka ditakuti rakyat daripada dicintai rakyat. Buat apa demokrasi kalau rakyat masih terus hidup dalam kemiskinan ataukah demokrasi diartikan sebagai kesempatan bagi siapapun untuk mengeruk uang rakyat? Atau sebagaimana kata Fareed Zakaria, seorang editor Newsweek Internasional yang berkantor di New York, “Indonesia… bukanlah sebuah calon ideal untuk demokrasi.”

20 July 2010

Khalwat



Hembusan angin segar pagi hari, cericit burung-burung gereja, jalan yang lengang dengan lanskap gunung semeru di sebelah timur selalu memanggil jiwaku untuk selalu tinggal di sana. Masyarakatnya yang lugas, selalu menilai sesamanya dari amal perbuatan bukan dari casing yang mungkin memesona tapi menipu, membedakan Patokpicis dari dusun di sebelahnya yang hidup dalam bayang-bayang menjerat yang dilembagakan oleh para kapitalis agama. Beberapa orang pendatang berulangkali menggunakan arogansi intelektualnya untuk menangguk keuntungan ekonomi di dusun ini, tapi gagal. Kejujuran, apa adanya, kelakuan tanpa kepalsuan, itulah yang dihargai di tempat ini. Pemikiran yang rasionalis dan pragmatis merupakan ciri khas yang melekat.
Letaknya yang di dataran tinggi membuat udara di sini sangat sejuk bahkan terkesan dingin pada musim kemarau. Sangat menyenangkan ketika sore hari duduk di beranda rumah diliputi sinar matahari yang temaram sambil menyeruput kopi atau sesekali ke belakang rumah untuk menyongsong angin yang berhembus dari arah selatan, areal yang dipenuhi persawahan, segar..dan mendinginkan otak yang seharian dipenuhi kerepotan dan permasalahan. Malam hari setelah isya’ segera suasana menjadi sepi, sangat kondusif untuk merenung mengingat-ingat tentang makna hidup, membaca buku yang menyenangkan atau berdzikir menyebut keagungan Allah sampai subuh menjelang.
Inilah yang menyebabkan aku selalu rindu pulang ke Patokpicis, sebuah dusun kecil dan tidak terkenal, untuk merehatkan jiwa yang penat setelah disibukkan oleh perburuan duniawi. Tempat yang nyaman untuk merasa sepi dan sendiri, tempat yang aman untuk menghindarkan diri dari ekses derasnya perubahan zaman. Wal hasil, setahap demi setahap berpacu dengan waktu aku persiapkan segalanya di sini. Untuk berkhalwat, mengurai segala wujud dan mendedah segala substansi.

04 June 2010

Pencarian Makna melalui Persepsi


Makna

Ada orang yang mendengar tetapi tidak memperhatikan, melihat tetapi tidak menangkap makna yang dilihat, dan merasakan tetapi tidak menghayati. Maka, aku menyadari bahwa orang yang buta adalah buta mata hatinya, bukan buta penglihatannya”. (Helen Keller).

Makna, sebuah kata yang sering kita dengar. Tetapi mungkin kita tidak mendefinisikannya dengan jelas. Menurut Elaine B. Johnson, Ph. D., dibukunya yang sangat saya sukai. Contextual Teaching and Learning. Elaine memaknai kata “makna” dengan merujuk ke Webster’s New World Dictionary: sesuatu itu memiliki makna jika sesuatu itu penting dan berarti bagi diri pribadi seseorang. Makna, dalam upaya memahaminya, sesungguhnya merupakan salah satu masalah filsafat yang tertua dalam umur manusia. Menurut De Vito, makna tidak terletak pada kata-kata, melainkan pada diri manusia. Wittgenstein menegaskan, arti kata bergantung pada penggunaannya dalam kalimat sedangkan arti kalimat bergantung pada penggunaannya dalam bahasa. Artinya, makna suatu kata tidak bisa dilepaskan dari konteks historisnya di mana kata itu diucapkan.

Makna dalam Budaya

Kebudayaan, adalah perkembangan penalaran imajinatif manusia melihatnya sebagai bagian dari evolusi strategi manusia dalam memahami siapa dirinya, komunitasnya, dunianya dan realitasnya yang begitu kompleks.

Kata budaya terdiri dari dua suku kata yaitu budi dan daya. Budi adalah makna akal, pikiran, pengertian, paham, pendapat, perasaan. Sedangkan daya mengandung kompleksitas makna dari yang tersurat dalam budi, juga sebagai himpunan kemampuan dan segala usaha yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan.

Kebudayaan bukanlah “gambar” dan individu tinggal “mengamatinya”. Kebudayaan adalah aliran pertautan interaksi, kreasi, korelasi dan keterhubungan yang mengadopsi, membuang, mengkritisi, meredefinisi makna, demi menemukan makna baru yang lebih relevan.

Kebudayaan adalah medan yang sarat dengan pertarungan makna. Kebudayaan adalah suatu proses dan hasil dari pemberian bentuk atau makna atas realitas yang kerap tak berbentuk. Transaksi kultural dan pembentukan makna, di mana segala hal menjadi mungkin.

Memahami, memetakan, dan menarikan realitas pergumulan manusia dalam memberi bentuk dan makna atas realitas yang tak berbentuk (amorphous). Dengan kata lain, kita tak hanya menggumuli tataran refleksi filosofis, tetapi juga memahami kebudayaan melalui pergumulan dengan pelbagai bentuk pengalaman empiris.

Makna dalam Bahasa

Kemampuan utama khas manusia adalah bahasa, maka makna-makna hubungan komunikasi itu umumnya diartikulasikan dalam konseptualisasi diskursif, alias dalam wacana. Dalam dan melalui wacana inilah kita merumuskan diri, mengevaluasi diri, dan mengubah cara melihat, merasa dan memahami. Melalui wacana kita membentuk dan memahami identitas diri. Wacana adalah layar di mana kita diimajinasikan dan direpresentasikan (diinterpretasikan) bagi diri sendiri. Masalahnya adalah bahwa dalam kenyataannya pelbagai pihak lain juga, yang diwarnai pelbagai kepentingan: kepentingan politis, komersial, filosofis, religius, artistik, atau gender, kelas sosial, pendapatan, dan orientasi politis. Pelbagai kepentingan itu mengakibatkan representasi tentang kita tidak selalu autentik dan fair.

Bahasa sebagai suatu sistem simbol ternyata tidak bisa mengungkap seluruh realitas yang ada di dunia ini. Simbol atau lambang memperoleh fungsi khususnya dari konsensus atau mufakat kelompok atau konvensi sosial, dan tidak mempuyai efek apapun bagi setiap orang yang tidak mengenal konsensus tersebut. Hal ini karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem simbol-simbol. Sedangkan tugas dari filsafat yang utama adalah mencari jawab atau makna dari seluruh simbol yang menampakkan diri di alam semesta ini. Bahasa juga adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia simbol-simbol tersebut.

Kemampuan utama khas manusia adalah bahasa, maka makna-makna hubungan komunikasi itu umumnya diartikulasikan dalam konseptualisasi diskursif, alias dalam wacana. Dalam dan melalui wacana inilah kita merumuskan diri, mengevaluasi diri, dan mengubah cara melihat, merasa dan memahami. Melalui wacana kita membentuk dan memahami identitas diri. Wacana adalah layar di mana kita diimajinasikan dan direpresentasikan (diinterpretasikan) bagi diri sendiri. Masalahnya adalah bahwa dalam kenyataannya ada berbagai pihak lain yang ikut bermain, yang diwarnai berbagai kepentingan juga: kepentingan politis, komersial, filosofis, religius, artistic, atau gender, kelas social, pendapatan, dan orientasi politis. Berbagai kepentingan itu mengakibatkan representasi tentang kita tidak selalu autentik dan fair.

Dalam dunia filsafat, persoalan makna ini telah menjadi perhatian utama para tokoh filsafat dari aliran analisa atau yang lebih terkenal dengan sebutan aliran filsafat bahasa. Bagi Wittgenstein bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna yang terkandung di dalamnya tiada lain merupakan penggambaran suatu keadaan factual dalam dunia realitas melalui bahasa. Yang mengandung makna hanyalah hal-hal yang dapat diverifikasi secara empirik. Fakta ialah suatu Sachverhalt (bahasa Jerman), yaitu hubungan-hubungan yang dipunyai oleh objek-objek.

Bahasa meliputi tautology (seperti dalam matematika) atau fakta-fakta yang dapat dicek. Di dalam lingkungan bahasa yang bermakna, jadi di dalam lingkungan dunia ini, segala sesuatu seperti adanya. Nilai terletak di luar dunia dan tak pernah dapat diungkap oleh bahasa, karena bahasa tak dapat mengatasi lingkungan fakta (apa yang ada, das Sein), sedangkan nilai menyangkut apa yang seharusnya ada (das Solen). Karena itulah etika tak dapat dituturkan, alias dibahasakan.

Pikiran adalah kalimat (proposisi) yang bermakna. Proposisi itu merupakan suatu gambaran realitas, Sebuah proposisi harus dapat menunjukkan pengertian tertentu tentang realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi seperti itu hanya perlu mengatakan “ya” atau “tidak” untuk menyetujui realitas yang dikandung oleh proposisi tersebut. Hanya proposisi yang memiliki makna. Proposisi-proposisi atau kalimat-kalimat yang logis memperlihatkan struktur dunia. Logika bukan suatu ajaran, melainkan cerminan dunia. Penyelidikan logis merupakan penyelidikan mengenai segala bentuk keajegan. Namun, ketidakbermaknaannya itu bukan pada dirinya, sebab metafisika tidak bermakna atas nama bahasa logika.

Makna dalam Filsafat

Fungsi filsafat adalah menunjukkan makna sesuatu yang tidak dapat dikatakan (atau dipikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan. Hanya sebatas itu, Merleau Ponty, seorang filosof postmodern mengatakan, Makna realitas tentang dunia itu berliku-liku dan mempunyai banyak dimensi. Menurut Merleau Ponty, pengetahuan manusia selalu fragmenter dan tempat-tempat terang dipisahkan dari tempat-tempat gelap. Jika filsafat memfokuskan pada satu dimensi dari banyak dimensi tentang realitas, maka yang lainnya berada dalam kegelapan. Karena itu, Merleau Ponty merasa curiga terhadap filosof yang berbicara dengan terang dan jelas. Jalan filsafat itu selalu penuh dengan risiko.

Makna dalam Filsafat Modernisme

Modernisme membawa erosi makna, konflik yang tak berkesudahan tentang nilai-nilai politis, dan ancaman tembok besi birokrasi. Rasionalitas yang dikembangkan modernisme, memang membuat dunia tertib dan dapat diandalkan, tetapi ia tak dapat membuat dunia menjadi bermakna. Robert Marcus (1898-1979) berpandangan bahwa masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Karena masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang berdimensi satu (one dimensional man).

Pada masyarakat semacam ini, segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan, yaitu keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada yang tidak lain adalah sistem kapitalisme. Masyarakat tersebut juga bersifat represif dan totaliter, karena pengarahan pada satu tujuan itu berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi yang lain yang tidak menyetujui atau tidak sesuai dengan sistem tersebut.

Hal itu bisa dilaksanakan dengan lancar dan efektif karena teknologi modern, yang berkat kemampuannya untuk menciptakan kemakmuran bagi manusia dan pengaturan masyarakat yang nampak serba rasional, dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup yang pada tahap-tahap masyarakat sebelumnya menimbulkan protes dan konflik sosial. Manusia yang tinggal dalam masyarakat tersebut dibuat pasif dan representatif, tidak lagi menghendaki adanya suatu perubahan. Semua ini, kata Marcus, merupakan akibat dari krisis ilmu pengetahuan modern.

Makna dalam Filsafat Postmodernisme

Ernest Gellner, ia berpendapat bahwa gagasan utama posmodernisme terletak pada suatu keyakinan yang menyatakan bahwa semua yang ada adalah sebuah teks; bahwa bahan pokok semua teks; masyarakat dan hampir apapun adalah makna-makna yang perlu diurai atau didekonstruksi, dan bahwa pandangan mengenai realitas yang objektif harus dicurigai. Kebenaran bagi postmodernisme adalah sukar dipahami, multi bentuk, batiniah, dan subjektif.

Ini artinya, bahwa untuk menemukan postmodernisme, kata Akbar S. Ahmed, maka harus dicari kekayaan makna, bukan kejelasan makna, juga dihindari memilih antara hitam dan putih, memilih ini atau itu, dan terimalah keduanya. Selanjutnya buatlah tingkatan makna dan kombinasi fokus yang banyak dan berusaha menemukan sendiri dengan pengetahuan sendiri. Di mana tidak ada yang sakral, setiap keyakinan bisa direvisi.

Jacques Derrida, mengajukan logosentrisme, yaitu kehendak untuk sebuah pusat. Secara harfiah logosentrisme artinya keterpusatan pada logos (kata). Tradisi logosentris yang dimaksud Derrida adalah suatu tradisi pemikiran yang didasarkan pada anggapan tertentu mengenai “ada” . Logosentrisme berdasarkan anggapan bahwa “ada” adalah sama dengan kehadiran dan yang benar adalah yang riil atau yang hadir. Semua yang ada di dunia ini “ada” karena dihadirkan oleh “logos” (kata). Makna selalu tertenun dalam teks. Dengan kata lain, manusia tidak dapat berpikir atau menulis apa pun tanpa merujuk pada tradisi pemikiran tertentu yang mengendap dan dilestarikan dalam sekian banyak teks yang saling berkaitan.

Adapun sisi positif dan menyegarkan dari gerakan ini, yang oleh Barthes disebut sebagai “jouissance” adalah pandangannya mengenai perlunya toleransi, pentingnya pluralisme, kebebasan meneliti, perlunya memahami orang lain, kesalehan, kasih sayang, memberikan perhatian pada orang tua dan orang yang tak beruntung, serta mengetahui dan memahami satu sama lain. Gerakan ini hanyalah merupakan fase historis sejarah manusia yang menawarkan kemungkinan yang belum ada sebelumnya. Postmodernisme sebagaimana telah diuraikan di atas, adalah suatu gerakan yang memayungi berbagai aliran pemikiran yang mencoba menggugat dan mengkritisi kemapanan dan sekaligus keangkuhan yang ditampilkan modernisme.

Perluasan dan Pengembangan Persepsi untuk Mencari Makna

Persepsi dibentuk oleh kehidupan, pengetahuan, nilai-nilai, dan keyakinan yang melahirkan sikap. Persepsi memiliki kekuatan luar biasa hingga menentukan perjalanan hidup manusia, baik dalam urusan rumah tangga, usaha, sosial, kesehatan dan spiritual. Jika Anda berpikir negatif terhadap pekerjaan dan pasangan Anda maka akal akan mengesampingkan sisi lain dari pasangan dan pekerjaan Anda.

Socrates mengatakan, kita tidak melihat segala sesuatu apa adanya, tetapi kita melihatnya sesuai dengan persepsi kita. Tetapi ketika akal manusia tidak terlatih berpersepsi dengan benar, maka ia tidak dapat membedakan antara sesuatu yang mengancam kehidupan dan sesuatu yang mendatangkan manfaat baginya. Segala sesuatu ada dalam persepsi. Jika saya tidak mengetahui saat ini, bukan berarti sesuatu itu tidak ada secara faktual, tapi ia tidak ada dalam persepsi saya saja.

Pada dasarnya kenyataan adalah persepsi yang telah diprogram oleh manusia. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang kenyataan hidup yang mereka jalani. Bahkan perbedaan itu terjadi antara satu suku dan suku yang lain, dan antara pemeluk satu agama dan pemeluk agama yang lain. Pemahaman Anda tentang sesuatu belum tentu sama dengan pemahaman orang lain. Dalam tataran intern sendiripun persepsi orang terhadap kebudayaan yang sama bisa beragam dan berubah.

Persepsi dan Krisis Eksistensial Manusia

Kehidupan manusia didominasi dengan sederet kisah tragis. Manusia terkondisi dengan persepsi untuk selalu mengejar kesenangan dan kebahagiaan yang semu, serba instant dan dangkal. Manusia terinfeksi penyakit nostalgia masa silam, sambil gamang menghadapi masa sekarang, dan gelisah akan masa depan. Selain itu, ia terus menerus hidup dalam aura panas persaingan produktifitas, prestasi, kepentingan politis dan ekonomi, yang memicu manusia mengambil jalan pintas, yang kerap brutal, illegal, immoral, dan berakibat fatal. Gempuran informasi yang mempesona serta tawaran pasar yang menjanjikan transformasi progresif kualitas hidup seringkali hanyalah ilusi dan simulasi. Karenanya manusia berhadapan dengan ambiguitas, dan ia sendiri akhirnya menjadi suatu yang ambigu. Itu sebabnya peradaban manusia pun rentan terjerembab ke dalam krisis eksistensial.

Krisis eksistensial peradaban muncul dalam simtom hilangnya nilai-nilai luhur dan mendasar dalam hidupnya. Manusia tak lagi mempunyai prioritas hidup; tak lagi mempunyai kriteria nilai serta tujuan; tak mempunyai harapan; dan tak berani mencari makna terdalam. Fenomena di atas antara lain disebabkan oleh “pendewaan” terhadap kerja. Dunia manusia menjadi begitu riuh, bising dan glamour dengan urusan bisnis dan kerja sehingga manusia pun terbelenggu secara eksistensial.

Sebagai sandera, individu digempur oleh kedangkalan epistemik, karikatur para elite politik berupa kebobrokan moral, gempuran media massa yang depthless, karnavalisasi praktik keagamaan, simulasi dan hipnotis televisi berupa peternakan artis, tontonan takhayul, infotainment kriminal, hiburan dangkal berupa gosip selebritis dan hiruk pikuk membunuh makna. Oleh karena itu individu terpojok ke kamar frigiditas empati dan terpasung oleh daya konsumen teatrikal.

Bahkan Josef Pieper seorang filosof dari Jerman, memakai mitos Sisifus, yaitu mitos yang mengilustrasikan realitas pergulatan eksistensial manusia dengan absurditas (Albert Camus), dengan kesia-siaan, sebagai analogi bahwa kerja merupakan rantai abadi yang mengikat manusia, tanpa manusia itu sendiri menkmati buah makna dari pekerjaannya.

Persepsi melawan Absurditas (nir Makna)

Pemahaman atau persepsi kita (disadari atau tidak, dikehendaki atau tidak) tidak lepas dari bentukan tradisi, sejarah, gambaran tentang identitas, pelbagai asumsi dan kepentingan tersembunyi serta tujuan tertentu.

Mencari esensi persepsi berarti menyatakan berarti menyatakan bahwa persepsi tidak diandaikan benar saja, tetapi merupakan jalan masuk kepada kebenaran. Berpersepsi atau mengamati sama dengan percaya pada dunia. Maksudnya, dunia adalah apa yang kita persepsi. Dunia, dalam pandangan Merleau Ponty, bukanlah dunia yang kita pikirkan, melainkan yang kita hayati. Kita senantiasa terbuka terhadap dunia, dan tidak dapat disangkal, kita berkomunikasi dengan dunia, tapi kita tidak memilikinya. Karena itu, dunia tidak dapat dikuasai sepenuhnya. Ada ‘Suatu Dunia’ atau lebih baik lagi ‘Dunia Ada’, bagi tesis tetap dalam hidup saya ini tak pernah dapat saya berikan alasan terdalam, tegas Merleau Ponty. Pikiran atau makna, menurut Merleau Ponty, tidak mendahului perkataan, tetapi terjelma dalam perkataan itu sendiri.

Peran Kesendirian dalam Pencarian Makna melalui Persepsi

Bahwa tak gampang memilah antara kenyataan dengan ilusi, kebenaran melebur dengan kenistaan, tirani menyatu dengan demokrasi, dan seterusnya. Waktu senggang adalah medan radikalisasi dan penajaman terhadap segala hal yang terpahami dan tak terpahami. Dalam waktu senggang, yang menjadi antenanya adalah sikap sunyi, sikap kontemplatif yang memungkinkan ketersingkapan Realitas (Being) bagi kita. Ia adalah sikap menerima, sikap kontemplatif, sikap yang tak hanya membiarkan segala peristiwa berlalu begitu saja, keberanian merogoh kedalaman di balik seluruh ciptaan. Waktu senggang adalah ranah yang membiarkan segala kesubtilan dan keganjilan realitas merenangi imajinasi atau membiarkan imajinasi bertualang mengumpulkan ide-ide, merumuskan penalaran, mengasah daya abstraksi, menajamkan intuisi. The Art of Silence.

Menurut Heidegger bahwa subjek membiarkan realitas Ada menjadi dirinya sendiri, tanpa mereduksinya ke dalam rumusan dan penalaran yang positif, agresif, posesif dan seringkali naïf. Dengan kata lain, pola berpikir demikian memperlihatkan keluasan kesadaran menggauli realitas, membiarkan pemikiran menampilkan pikiran itu sendiri (kesadaran baru ini penting dicermati oleh anggapan yang melihat kontemplasi sekadar sebagai pembacaan subjektif). Dengan itu, segala fenomena dan subjek masing-masing membuka diri, dan memberi peluang agar peristiwa tampil sendiri.

Individu mesti menyimak sekaligus bermain dengan tindakan, terhadap realitas yang biasanya merupakan riwayat kebencian, penderitaan, propaganda, tindakan licik, dan intrik politik yang keji dan serakah. Kesendirian yang mesti diisi dengan intuisi, imajinasi, emosi yang berbobot, kesunyian yang sarat makna dapat mengurai hal itu.

Pencarian Makna dalam Tradisi Islam

Kebenaran yang diakui dalam tradisi Islam merupakan kebenaran eksternal yang tidak mampu dipersepsi dengan posisi kita sebagai manusia. Maka dari itu tradisi berpikir dalam Islam adalah tradisi berpikir yang berpusat pada teks (logosentrisme), yaitu pengakuan teks al-Quran sebagai sumber kebenaran. Walaupun mempunyai satu kitab suci yang merupakan satu-satunya sumber kebenaran ternyata banyak perbedaan di kalangan umat Islam dalam rangka mencari makna tentang kebenaran itu.

Berkenaan dengan hal ini, Abid al-Jabiri mengklasifikasikannya menjadi tiga kelompok, yang masing-masing mengklaim metodenya sebagai yang paling benar dalam mencari makna kebenaran.

Kelompok pertama adalah kelompok yang berpola pikir model al-Bayani, menggunakan pola berpikir deduktif interpretatif. Didominasi oleh para ulama fiqih, ahli nahwu dan ahli kalam (teologi). Kelompok kedua menggunakan model al-Irfani, yaitu kelompok yang menggunakan asumsi bahwa yang ada (al-wujud) tidak hanya ada di alam manusia, terdapat yang ada (al-wujud) di luar tatanan rasional empirik. Untuk yang disebut terakhir ini hanya bisa ditempuh dengan epistemologi iman melalui latihan spiritual (riyadah). Kalangan ini merupakan representasi dari para ulama tasawuf. Kelompok terakhir adalah kelompok dengan model berpikir al-Burhani atau induktif empiris. Mereka adalah para filosof Muslim.

Nah, kalau kita ikuti paparan di atas ternyata ternyata untuk mencari hidup yang bermakna atau mencari kebenaran dalam hidup ternyata tidak sederhana. Dibutuhkan banyak cucuran keringat atau mungkin juga cucuran darah demi makna, sebagaimana yang bisa kita baca dalam literatur sejarah manusia. Tapi kita tidak boleh menyerah, karena walaupun singkat hidup adalah proses pencarian makna. Wallahu a’lam.

Kebebasan dan Kesadaran untuk “Hidup”


Claude Levi-Strauss (Filsuf Strukturalis) pernah melakukan perdebatan panas dengan Jean Paul Sartre (Filsuf Eksistensialis) seputar topik hakikat kebebasan dan kesadaran manusia. Berdasarkan teorinya, Levi-Strauss mengkritik filsafat eksistensialisme yang dibawa Sartre.
Dalam pandangan Sartre dan kaum eksistensialis lainnya, manusia dipandang sebagai subjek yang otonom, yang secara fundamental bebas berbuat dan menentukan pilihan. Manusia merupakan makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Dengan kata lain, ia sangat mengagungkan kebebasan dan pilihan individual.
Namun Levi-Strauss menegaskan bahwa manusia tidak sebebas dan seotonom seperti bayangan Sartre. Ia memang mengakui manusia sebagai individu yang sadar akan dirinya dan mampu membuat pilihan secara bebas. Tapi, dibalik itu, ada ‘struktur’ tertentu yang tanpa disadarinya menentukan pilihan tersebut.
Maka, menurut dia, tugas utama ilmu pengetahuan adalah menggali struktur terdalam di balik keputusan tersebut. Dengan demikian, Levi-Strauss seperti mau meniadakan posisi manusia sebagai subjek dan menempatkan ‘struktur terdalam’ sebagai sentral –pemikiran yang bertentangan sama sekali dengan Sartre. Menurut Levi-Strauss, dalam kehidupan pola pikir kita sebetulnya dikendalikan oleh sebuah struktur yang ada dalam diri kita. 
Kita beraktifitas dikendalikan oleh konsep agama, latarbelakang pendidikan, adat atau tradisi, atau mungkin identitas atau jabatan yang kita sandang. Kita hampir tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang sebetulnya ingin kita lakukan dan tidak melakukan apa yang sebetulnya tidak ingin kita lakukan. 
Takut dikatakan sebagai orang yang berdosa, khawatir dikatakan sebagai orang yang tidak berpendidikan, khawatir dikucilkan dari masyarakat, tidak berbudaya atau mungkin kita akan bertingkah laku sebagai sosok yang berkuasa, akan menderita kalau kekuasaan itu lepas dari diri kita. Kekaguman yang terpaksa pada seorang tokoh, karena kalau tidak, khawatir berdosa, kualat dan sebagainya. 
Hal-hal seperti itulah yang kemudian memberi bentuk pada kehidupan kita baik dalam tataran tingkah laku, pola pikir maupun perkataan. Atau kalau menurut istilah saya, orang yang tidak menemukan jati diri, belum mengetahui hakekat dirinya sendiri.
Orang yang sak karepe dewe, emoh diatur, itulah mungkin pernyataan-pernyataan yang bisa dialamatkan pada kaum eksistensialis. Ingin melakukan apa yang memang ingin dia lakukan, dan tidak ingin melakukan sesuatu yang memang tidak ingin dia lakukan. Memberi warna yang pekat pada ke’aku’annya. Tidak ingin terbebani oleh norma-norma atau aturan-aturan, pemberontak, anti kemapanan atau mungkin anti sosial. Seseorang yang hidup tanpa pretensi apapun.
Keinginan untuk bebas dan tidak diganggu atau terikat oleh orang lain pada akhirnya juga mencapai suatu titik ekstrem pada diri seorang Sartre ketika berusia 12 tahun. Dia secara sadar melepaskan diri dari adanya ‘liyan’ teragung, Tuhan sendiri. Bagi Sartre ABG, Tuhan adalah figur yang suka menghukum, mahatahu, dan ada di mana-mana, sehingga mampu melongok ke setiap sudut-sudut relung hatinya yang diliputi rasa bersalah. Ini jelas memuakkan. “Aku membutuhkan seorang Pencipta Semesta, namun orang memberikan daku seorang bos nomor wahid.” Sartre menyebut gaya Tuhan ‘sang polisi’ ini sebagai ‘kekurangajaran yang keterlaluan’. Ia bercerita,
Corak resignation (moving away from others) ini membuat Sartre menganggap Tuhan mengganggu kebebasan (freedom) dan kedamaian sempurnanya (perfect serenity). Tuhan adalah liyan yang ikut campur urusan pribadi, mengungkit kesalahan-kesalahannya hingga ia tidak punya tempat untuk melarikan diri. Merasa muak, Sartre pun menolak Tuhan pada usia semuda itu. Kelak, pemikirannya ini akan ia kembangkan dan formulasikan dalam filsafat eksistensialis-ateistiknya: manusia sungguh-sungguh bebas dan, atas nama kebebasan, Tuhan harus tidak ada karena adanya Tuhan menghambat kebebasan manusia!
Menyukai yang baik-baik dengan keadaan terpaksa kita akan terjerumus dalam strukturalisme. Jika bebas dan tak ada kendali kita akan memasuki pintu eksistensialisme. Pertarungan seperti di atas merupakan sesuatu yang jamak di kancah kajian filsafat.
Dalam realitas kehidupan, kita bertemu dengan banyak agama, ajaran filsafat maupun dengan ideologi yang ditujukan untuk memberikan tuntunan kepada kita dalam mengarungi kehidupan. Dalam pengarungan hidup itu kita tidak bisa melepaskan diri dari pertarungan nilai-nilai di atas.
Walaupun hal di atas menawarkan diri dan bertebaran, kita tetap tidak bisa mengetahui yang “sebenarnya” tentang diri kita dan dunia yang ada di sekeliling. Untuk itulah kita harus mengarusutamakan kesadaran dalam kehidupan, memahami sebanyak-banyaknya diri kita dan dunia. Agama, filsafat, ataupun ideologi tidak berperan banyak dalam hidup tanpa adanya kesadaran. Karena pengetahuan atau eksistensi tidak dapat benar-benar hadir. Semua disaring, semua ditafsir: kita tidak dapat melangkah keluar dari persepsi indra dan bahasa manusiawi. Jadi kalau ingin “hidup” kita harus memperluas kesadaran, memperluas persepsi indera dan bahasa manusiawi.

15 February 2010

Kebenaran Palsu


Kita punya satu kebenaran mutlak: SEMUANYA PALSU..!

28 January 2010

Filsafat Hukum vis a vis Filsafat Hukum Islam


Avant-propos

Tulisan ini bermula dari seringnya saya diberi tugas oleh Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) JEMBER untuk mengajar Filsafat Hukum. Sebenarnya vak wajib saya adalah Filsafat Hukum Islam, mungkin pihak yang berwenang di jurusan Syari’ah memandang ada kemiripan antara vak wajib saya dengan filsafat hukum, yaitu sama-sama ada kata “filsafat hukum”nya. Padahal kalau diperhatikan lebih dalam lagi, kedua matakuliah tersebut dari sisi epistemologisnya sangat berbeda, bahkan bertolak belakang. Jadi yang lebih cocok untuk mengajar matakuliah tersebut sebetulnya adalah dosen yang berlatarbelakang ilmu hukum umum. Tapi tidak apalah, hal tersebut menjadi tantangan bagi saya untuk melakukan pengembaraan intelektual dalam bidang yang berada di luar vak wajib saya. Dan ternyata pekerjaan itu memang sangat mengasyikkan. Untuk lebih jelasnya, inilah hasil pengembaraan saya.

Filsafat Hukum: Pola Berpikir Dari Bawah ke Atas (Induktif)

Dalam menalar, Filsafat Hukum Beranjak untuk mempertontonkan tradisi berpikir dan bermetode yang berwatak “spekulatif-reflektif”, terhadap objek dalam kajian-kajiannya. Filsafat hukum tidak mungkin dilakukan tanpa melibatkan sejumlah argumentasi-argumentasi yuridis rasional yang dapat saja dipatahkan oleh paket argumentasi lainnya, dan jika tiba saatnya untuk itu, ia tidak lagi menerima pandangan yuridikal sebagai semata-mata yang mutlak benar, yang semata-mata didasarkan pada otoritas yang dimiliki orang-orang tertentu yang merumuskannya.

Tiap kepastian atau pun kemutlakan yang diperagakan dalam filsafat hukum secara substansial harus dinyatakan dan dibuktikan dalam cara-cara yang rasional. Filsafat hukum hanya akan menjadi semata-mata “dogmatis” (mengekspresikan pandangan-pandangan yang rigid atau kaku) dengan sendirinya, ketika ia tidak lagi terbuka terhadap argumentasi baru dan secara ngotot berpegangan pada pemahaman yang hanya diperoleh sekali saja. Dengan begitu, secara praktikal filsafat hukum justru akan mengimplikasikan kekakuan (ketiadaan toleransi).

Hal itu akan mengganggu keterbukaan sebagai hal yang justru esensial dalam sejumlah situs komunikasi kemasyarakatan. Lebih jauh, filsafat hukum akan terdorong menjadi kegiatan yang tidak rasional, yang berarti bahwa faktor emosi akan mendominasi tanpa kendali atau secara tidak proporsional. Seringkali pemahaman dogmatis secara praktis sering berfungsi sebagai kepanjangan tangan kekuasaan. Jika argumentasi rasional yang terbuka tidak lagi berperan sebagai batu ujian terakhir bagi filsafat hukum, maka suatu diskusi kefilsafatan yang sesungguhnya akan sangat membahayakan.

Oleh karena itulah berdasarkan hakikatnya, filsafat hukum akan selalu mengedepankan keterbukaan dan toleransi, sehingga dapat dikatakan filsafat hukum bukanlah pemahaman agama terhadap hukum atau dogma-dogma agama terhadap hukum, yang cenderung tertutup terhadap falsifikasi. Filsafat hukum justru berangkat dari keragu-raguan (ketidakpastian) yang darinya muncul berbagai produk hukum hukum yang dibuat manusia. Dalam hal ini, filsafat hukum akan mempertanyakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan hukum yang dibuat manusia, sambil mencurahkan justifikasi dan falsifikasi di atasnya.

Filsafat hukum lebih terarah untuk pengevaluasian atau pengkritisian sensasi-sensasi tertentu dari hukum yang dikomposisikan manusia, sehingga berdasarkan hal itu dapat disimpulkan hukum yang mana sebagai hukum yang baik dan benar, atau hukum mana yang adil.

Pada filsafat hukum, kebenaran masih harus ditemukan dan masih menuntut untuk secara berkesinambungan dikritisi, bila perlu diperbaharui (dengan mendasarkan diri pada perkembangan) atau dianulir dengan dalil yang datang kemudian, ini lantaran, bahwa problem-problem hukum yang diperhadapkan pada masyarakat manusia berbeda menurut waktu dan tempat. Itu berarti bahwa motivasi untuk berfilsafat di bidang hukum selalu berubah-ubah. Sudut motif, perspektif, waktu, warna dan gaya suatu filsafat hukum, semuanya berkait dan berkelindan dalam pembentukannya. Sebagaimana pemikiran Aristoteles, Immanuel Kant ataupun Hans Kelsen yang berbeda antar satu dengan lainnya.

Filsafat Hukum Islam: Pola Berpikir Dari Atas ke Bawah (Deduktif)

Studi atas doktrin-doktrin keagamaan, cenderung bertitik tolak dari sesuatu yang pasti atau kepastian yang berwatak langsung. Kebenaran dogmatis akan diterima begitu saja, tanpa harus diargumentasikan dengan cara-cara yang rasional dan logis. Umumnya, orang menerima dengan begitu saja, tanpa harus mempermasalahkan, hal baik-buruknya, benar-salahnya atau rasional-tidaknya. Sekalipun demikian, dalam konteks ini dapat saja diajukan sejumlah argumen yang memenuhi kriteria rasional dari seorang ulama yang memiliki otoritas, artinya orang akan menerima begitu saja karena otoritas tersebut. Studi atas agama hadir sebagai suatu putusan spesifik yang dapat diberikan landasan rasional, namun keyakinan adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dibanding yang diperagakan dalam filsafat hukum, yang cenderung bergerak dengan cara-cara yang spekulatif dan reflektif.

Dalam wilayah filsafat hukum Islam, kebenaran sudah ada dan bersifat mutlak, di sini kita hanya memerlukan dalil-dalil yang menjustifikasi, tidak boleh dikritisi apalagi dianulir oleh dalil baru, karena hal ini merupakan sesuatu yang dinyatakan atau bersumber dari Dzat Yang Tidak Terbatas, Yang Melampaui segala sesuatu dan menciptakan semesta beserta segenap isinya. Jadi boleh dibilang tidak akan ada yang namanya Filsafat Hukum Islam dari perspektif manusia (makhluk), kita hanya akan mengenal “Ilmu Hukum Islam” atau “Dogmatika Hukum Islam”. Subjek-material dari Dogmatika Hukum Islam ini adalah teks-teks otoritatif yang diwahyukan Tuhan dalam kitab suci al-Quran, yang mengatur tentang bagaimana manusia sebagai makhluk Allah SWT seharusnya berperilaku. Disiplin ilmiah ini bertitik tolak untuk ruang penginterpretasian atas teks-teks itu.

Sebenarnya filsafat hukum Islam merupakan istilah baru. Menurut para pakar, genealogisnya bisa ditelusuri dalam literatur klasik mulai al-Mustasfa nya al-Ghazali sampai al-Muwafaqat nya al-Syatibi. Dalam karya para ulama tersebut filsafat hukum Islam diistilahkan dengan Maqasid al-Shari’ah.

Pembahasan tentang maqasid al-shari’ah ini ditujukan untuk mencari maksud Allah dari hukum syari’ah yang diturunkan melalui ayat-ayat hukum maupun hadits-hadits hukum. Dengan asumsi bahwa tujuan Allah menurunkan syari’ahnya adalah kemaslahatan (kebaikan/kedamaian) bagi manusia, bukan sebaliknya. Karena bisa jadi syari’ah yang berada pada ruang waktu yang salah tidak akan mendatangkan maslahah, bahkan sebaliknya mendatangkan mudharat (kerugian/bahaya). Untuk itu filsafat hukum Islam atau maqasid al-shari’ah di sini bertujuan untuk menempatkan syari’ah atau hukum Islam pada ruang dan waktu yang tepat.

Komentar

Kesamaan antara filsafat hukum dengan filsafat hukum Islam adalah accept a law as true law (menerima hukum sebagai hukum yang benar). Hanya saja filsafat hukum akan lebih terarah untuk pengevaluasian atau pengkritisan sensasi-sensasi tertentu dari hukum yang dikomposisikan manusia, sehingga berdasarkan kenyataan itu dapat disimpulkan hukum mana yang berlaku sebagai hukum yang baik dan benar, atau mana hukum yang adil.

Sementara dalam filsafat hokum Islam, hukum yang benar dan adil itu tidak perlu dicari, sebab ia sudah ada, di sini orang hanya perlu memahami dan menginterpretasikannya dengan cara-cara yang relevan dan akseptabel (bisa diterima).

14 January 2010

Pembacaan al-Quran


Kebahagiaan dalam “Membaca” al-Quran

Bagi umat Islam, al-Quran adalah inti sari dari semua pengetahuan. Pengetahuan ini terkandung di dalam al-Quran dalam bentuk benih dan prinsip. Al-Quran memuat prinsip dari segala pengetahuan, termasuk kosmologi dan pengetahuan tentang alam semesta. Al-Quran bukan hanya sumber pengetahuan metafisis dan religius, melainkan juga sumber segala pengetahuan. Al-Quran adalah pedoman dan sekaligus kerangka segala kegiatan intelektual Islam.

Al-Quran diturunkan bagi petani sederhana di pelosok dusun maupun ahli metafisika di universitas yang berdiri megah di tengah megapolitan. Al-Quran mengandung berbagai tingkat pengertian dan berlapis makna bagi semua jenis pembacanya. Karena itu, orang harus mempersiapkan diri agar dapat memahami arti al-Quran. Mempersiapkan diri dalam pengertian seseorang harus mempunyai perangkat lunak (pengetahuan yang luas) yang dibutuhkan untuk memahami informasi-informasi yang disampaikan al-Quran.

Ketika al-Quran membahas tentang waktu (wa al-‘asr), sebelum membacanya, ada baiknya kita juga sudah punya bekal yang cukup mengenai konsep waktu. Bisa dari sudut pandang filsafat, budaya, sastra atau yang lainnya. Ketika membahas tentang keberadaan Allah (huwa al-awwalu wa al-akhiru) kita akan lebih punya wacana yang menarik jika sudah membaca kajian filsafat tentang asal muasal segala sesuatu atau membaca kajian tasawuf tentang Dzat Allah. Demikian juga ketika mencermati tema-tema lain dalam al-Quran seperti relatifitas, ekonomi, pendidikan, wanita, tanaman, logam, ombak, simetri, hujan, kabut, kaca, dan sebagainya.

Bagi orang yang suka berpikir, memahami al-Quran merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan, karena kata-katanya penuh makna dan bernas. Ketika hati sedang gundah gulana bukalah al-Quran secara acak dan temukan poin-poin tertentu kemudin lihat konteks turun dan hadits-hadits Nabi SAW yang berkenaan dengan ayat-ayat itu maka kita dapat merasakan kesenangan tersebut dan sejenak melupakan kerepotan-kerepotan hidup yang sering tidak memberi kesempatan bagi jiwa kita untuk istirahat. Banyak tema-tema yang menarik dan dapat menjadi sumber inspirasi dalam mengarungi kehidupan.

Keasyikan, itulah yang saya rasakan ketika “membaca” al-Quran. Maka dari itu, kemanapun pergi di tas saya selalu ada kitab tafsir kecil Sofwah al-Bayan li Ma’ani al-Quran al-Karim yang di dalamnya berisi tafsir, hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat sekaligus asbab al-nuzulnya. Tak lupa juga terjemah al-Quran Al-‘Alim Edisi Ilmu Pengetahuan.

Untuk sampai dalam kondisi seperti itu, pertama kali saya berusaha membebaskan al-Quran dari berbagai kesan yang profan seperti identiknya al-Quran dengan tradisi tertentu, budaya tertentu atau klaim otoritas golongan tertentu, seolah al-Quran adalah milik saya sendiri. Karena kalau kita mengidentikkan al-Quran dengan kesan tertentu maka jarak kita dengan al-Quran akan terasa jauh, kita tidak merasa ikut memiliki. Seterusnya, interaksi kita dengan al-Quran hanya sebatas ritualitas semata.

Kesulitan dalam “Membaca” al-Quran

Membaca, atau lebih dalamnya lagi mengkaji al-Quran pada dasarnya tidak serta merta bisa dilakukan oleh semua orang. Tidak otomatis seseorang yang membeli al-Quran di toko buku bisa segera membacanya di rumah dan mengambil pelajaran darinya. Karena banyak yang harus dipersiapkan oleh seseorang yang ingin “membaca” al-Quran. Menurut Jalaluddin al-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan ada 80 kategori ilmu pendukung apabila seseorang ingin “membaca” al-Quran. Di mana masing-masing kategori tersebut untuk mempelajarinya dibutuhkan pengamatan-pengamatan yang mendalam.

Selain itu seorang pembaca juga dihadapkan dengan berbagai macam model dan system penafsiran dari berbagai aliran keagamaan yang berkembang di dunia Islam, sebagaimana bisa dibaca dalam kitab Madzahib al-Tafsir al-Islami karangan Ignas Goldziher. Belum lagi bila dihadapkan dengan karya kontemporer tentang kajian al-Quran semisal tulisan Mohammed Arkoun dengan “Berbagai Pembacaan Al-Quran” nya, Fazlur Rahman dengan “Double Movement” nya, Nasr Hamid Abu Zaid dengan “Tekstualitas Al-Quran” nya, Muhammad Shahrur dengan “Hermeneutika Al-Quran Kontemporer” nya serta masih banyak lagi yang lainnya.

Keluasan isi al-Quran, kadang juga dibatasi oleh kajian secara parsial. Umat Islam disibukkan oleh satu tema al-Quran sedangkan tema-tema yang lain cenderung terlupakan. Contohnya, hampir semua energi ulama dan umat Islam dipergunakan untuk mengkaji ayat-ayat hukum yang jumlahnya seperlima. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah meskipun berjumlah sangat banyak, terabaikan. Sains sebagai perwujudan normative dari ayat-ayat kauniyah seolah-olah tidak terkait dan tidak mengantar orang Islam ke surga atau neraka sehingga tidak dibahas, baik di wilayah keilmuan maupun pengajian-pengajian.

Atau mungkin tentang pelestarian alam. Al-Quran sangat menganjurkan pemeluknya untuk menjaga dan melestarikan alam. Menurut al-Quran, alam dan segala isinya diciptakan Tuhan agar dipergunakan manusia secara bertanggung jawab. Al-Quran mengajarkan bahwa manusia wajib menjaga keseimbangan alam. Semua makhluk ciptaann Tuhan termasuk hewan, tumbuhan dan benda-benda mati berdzikir, memuja-muji Allah, Tuhan Semesta Alam. Tetapi faktanya umat Islam kurang greget (bersemangat) dalam usaha melestarikan alam.

Di sisi lain, banyak kalangan yang membenci al-Quran tidak memahami kondisi ini. Mereka hanya membaca terjemahan al-Quran dan menemukan ayat-ayat yang dianggap saling berlawanan atau mungkin bertentangan dengan akal sehat. Padahal persoalannya tidaklah sesederhana itu. Dengan berbekal pembacaan seperti itu mereka menambah rumitnya permasalahan dengan mengaburkan pemahaman umat Islam awam dengan menunjukkan bahwa di dalam al-Quran banyak sekali terdapat kekeliruan dan hal-hal yang tidak masuk akal. Sebagaimana yang sekarang marak dalam situs-situs jahat mereka.

Bagi orang awam tentu saja kondisi-kondisi di atas sangat menyulitkan untuk membuka akses mereka terhadap al-Quran. Bagi mereka membaca al-Quran dengan benar sesuai dengan tajwidnya saja sudah membutuhkan usaha yang ekstra keras. Berbagai metode sudah diciptakan hanya untuk bisa membacanya dengan benar.

Dari sini bisa diambil pengertian bahwa bagi umat Islam yang masih awam, pemahaman terhadap al-Quran sangat tergantung kepada pengajaran ulama. Jika tidak karena inisiatif ulama untuk mengajar umatnya yang awam mengenai al-Quran selama itu pula akses al-Quran terhadap mereka terputus. Umat hanya mampu membaca dalam pengertian yang sederhana. Selanjutnya, kondisi ini menyebabkan mereka kesulitan untuk menemukan persoalan-persoalan yang masih tak terpikir dan luasnya hal yang tak dipikirkan. Yang berkaitan dengan kebahagiaan mereka di dunia lebih-lebih di akhirat. Yang memberitahukan mereka tentang proyek jangka panjang, visi misi yang jelas dan kongkrit yang bisa dijadikan pedoman dalam mengarungi kerasnya kehidupan. Wallahu a’lam.

10 January 2010

Waktu Senggang


Waktu senggang hari-hari ini tak banyak berkaitan dengan reflektifitas atau kontemplasi. Waktu senggang kini lebih berkaitan dengan rekreasi. Dan dalam rekreasi itu orang pergi, ke luar dari diri, menuju dunia luar yang menyenangkan, seperti: tempat-tempat wisata, mall, club, negeri-negeri yang asing, wisata umroh, dan seterusnya.
Sekarang, pada abad postmodern ini dunia dikelola oleh dunia yang semu, maya, dunia informasi, terlebih lagi, dunia imaji dan sensasi. Manusia makin jarang dan sulit untuk sungguh bersentuhan dengan totalitas dirinya sendiri. Perenungan diri hanya tampil sebagai implikasi, atau lebih buruk lagi, ekses atau pelarian dari medan dunia semu yang mengepungnya.
Dahulu, pada masa Yunani Kuno, masyarakat polis terorganisir dan terstruktur rapi, terbagi menjadi dua lapisan, orang bebas dan para budak. Orang bebas mempunyai kesempatan luas berkecimpung dalam tataran filosofis, dalam bidang akademis, dalam mengapresiasikan seni, dalam bidang politik, berorganisasi dan berdebat. Ini dimungkinkan karena mereka memelihara dan menghidupi waktu senggang. Itu pula yang akhirnya memunculkan para pemikir avant garde kala itu seperti Anaxagoras, Parmenides, Heraklitos, Zeno, Socrates, Plato dan Aristoteles.
Waktu senggang bagi orang bebas dalam masyarakat Yunani Kuno terisi kegiatan berdiskusi tentang kebenaran dan upaya-upaya menjunjungnya, berrefleksi tentang berbagai gelagat peristiwa kehidupan yang telah, sedang, dan akan ada, berdistansi dan berabstraksi dengan realitas, dan seterusnya. Tak heran bila berbagai bentuk masterpiece dalam bidang seni, filsafat dan spiritualitas lahir dan berkembang di sana, lantas diwariskan dan dipelihara dari generasi ke generasi.
Pada abad pertengahan di Eropa, kaum bangsawan yang kaya raya mengisi masa mudanya dengan belajar ilmu pengetahuan di pusat-pusat kebudayaan, semisal di Andalusia Spanyol yang pada waktu itu menjadi pusat peradaban umat Islam. Menerjemahkan buku-buku filsafat berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka. Sebagian yang lain membangun bangunan-bangunan yang megah, menciptakan karya seni, mengadakan diskusi-diskusi ilmiah dan melakukan eksperimen-eksperimen. Hal-hal tersebut mungkin dilakukan karena harta dan waktu senggang mereka. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan Renaissance (abad Pencerahan).
Di kalangan umat Islam khazanah keilmuan dan keagamaan juga dihasilkan dari waktu senggang. Penguasa-penguasa zaman dahulu banyak mendirikan museum, perpustakaan, akademi, observatorium, pusat kajian ilmu pengetahuan. Para anggota dari tempat-tempat itu diberi tempat tinggal cuma-cuma, mendapat gaji, dan dibantu dalam riset mereka. Di semua akademi, perpustakaan, madrasah, rumah sakit dan observatorium yang disebutkan di atas, kebutuhan financial selalu dipenuhi agar para ilmuwan dapat mempunyai banyak waktu senggang dan dapat mencurahkan waktu sepenuhnya pada kegiatan belajar dan riset. Negara menciptakan waktu senggang bagi para ilmuwan dan insinyur untuk menghabiskan waktu mereka sepenuhnya dalam kegiatan riset, penemuan dan penulisan.
Kontemplasi dan pemikiran-pemikiran yang dilakukan di waktu senggang mungkin saja dapat memunculkan ide-ide yang tak terduga, menghasilkan karya yang luar biasa, atau inspirasi-inspirasi yang mengalir. Ini, terjadi ketika waktu senggang bukan hanya bermakna pengisi waktu untuk lebih banyak mengkonsumsi ilusi yang tak real. Banyak mengkonsumsi gaya hidup pop (generasi MTV), banyak menikmati hiburan media yang absurd dan irrasional. Bagaimana dengan waktu senggang Anda..?