03 January 2010

PERTARUNGAN TAK KUNJUNG SELESAI


MODERNISME: Kemajuan yang berdampak

Pandangan dunia a la Descartes yang mekanistik sebagai titik tolak modernisme telah berpengaruh kuat pada semua ilmu dan pada cara berpikir Barat pada umumnya. Metode mereduksi fenomena yang kompleks menjadi balok-balok bangunan dasar dan metode mekanisme yang dipakai untuk berinteraksi telah mendarah daging di dalam kebudayaan kita, sesuatu yang sering diidentifikasikan dengan metode ilmiah. Pandangan, konsep, atau pikiran yang tidak sesuai dengan metode ilmiah tidak akan dibicarakan secara serius dan biasanya dikesampingkan, jika tidak dijadikan cemoohan. Sebagai konsekuensi dari penekanan pada ilmu reduksionis ini kebudayaan manusia telah menjadi sangat terpecah-pecah dan telah mengembangkan teknologi, institusi, dan gaya hidup yang benar-benar tidak sehat

Pertumbuhan teknologi yang berlebihan telah menciptakan suatu lingkungan di mana kehidupan menjadi tidak sehat baik secara fisik maupun secara mental. Udara yang tercemar, suara yang mengganggu, kemacetan lalu lintas, bahan pencemar kimia, bahaya radiasi, dan banyak sumber stress fisik dan psikologis yang telah menjadi bagian kehidupan sebagian besar dari kita sehari-hari. Bahaya kesehatan yang multisegi bukan hanya akibat samping kemajuan teknologi yang bersifat incidental; bahaya itu merupakan cirri integrasi system ekonomi yang tergoda oleh pertumbuhuan dan perluasan,, yang terus menerus meningkatkan teknologi tingginya dalam rangka meningkatkan produktifitas. Di sisi lain sosialisme modern mengakibatkan otoritarianisme dan totalitarianisme yang ternyata terbukti menyengsarakan rakyat.

Dinamika yang mendasari problem-problem utama zaman kita, aids -kriminalitas, perlombaan senjata nuklir, polusi, inflasi, krisis energi- adalah satu dan sama. Semuanya merupakan residu peradaban yang tidak terreduksi oleh system yang kita kenal dengan modernisme. Jika kita melanjutkan pola-pola pertumbuhan yang terdifferensiasikan dewasa ini, kita akan segera kehabisan cadangan logam, makanan, oksigen, dan ozone yang menentukan kelangsungan hidup kita.

Hal ini diperparah dengan munculnya institusi korporasi yang menjadi cirri khas modernisme. Manusia, yang termasuk di dalam institusi itu dan orang-orang yang harus berhadapan dengan institusi itu merasa terasing dan kehilangan kepribadian, sedangkan keluarga, lingkungan tetangga, dan organisasi social skala kecil terancam dan seringkali dirusak oleh dominasi dan eksploitasi institusional.

Jika konsekuensi-konsekuensi kekuatan korporasi berbahaya di negara-negara industri, maka di Negara Dunia Ketiga konsekuensi-konsekuensi itu merupakan malapetaka. Di Negara-negara itu, di mana pembatasan resmi sering tidak ada atau tidak mungkin diberlakukan, eksploitasi manusia dan tanah mereka telah mencapai perbandingan yang ekstrem. Dengan bantuan manipulasi media yang terampil, yang menekankan pada sifat dasar perusahaan yang “ilmiah”, dan seringkali dengan dukungan penuh dari pemerintah Amerika Serikat korporasi-korporasi multinasional itu dengan kejam menyedot sumber daya alam Dunia Ketiga. Untuk itu, mereka sering menggunakan teknologi yang menimbulkan polusi dan ganguan social, dan oleh karena itu menyebabkan bencana lingkungan dan kekacauan politik.

Mereka menyalahgunakan sumber daya tanah dan belantara Negara-negara Dunia Ketiga untuk menghasilkan tanaman pangan untuk yang menguntungkan ekspor dan bukannya tanaman pangan untuk penduduk local, dan mereka juga mendukung pola-pola konsumsi yang tidak sehat, termasuk penjualan produk-produk yang sangat berbahaya yang telah dilarang di Amerika Serikat.

Banyak cerita mengerikan tentang perilaku korporasi di Dunia Ketiga yang telah muncul pada tahun-tahun terakhir menunjukkan dengan meyakinkan bahwa penghormatan pada manusia, alam, dan pada kehidupan bukan menjadi bagian dari mentalitas korporasi. Sebaliknya, kejahatan-kejahatan korporasi dalam skala besar kini merupakan aktifitas yang paling meluas dan paling sedikit diajukan ke pengadilan. Kebutuhan-kebutuhan mendasar masyarakat diubah menjadi suatu komoditi yang dapat dijual kepada konsumen menurut aturan-aturan ekonomi “pasar bebas”. Sedangkan bantuan ekonomi adalah mengambil uang dari orang-orang miskin di Negara-negara kaya dan memberikannya pada orang-orang kaya di Negara miskin. Mereka memberitahu kita tentang berkilaunya masakan dan pakaian, tetapi lupa menyebutkan hilangnya sungai dan danau yang berkilau.

POST MODERNISME: Gerakan Ketidakpuasan

Kebudayaan baru yang sedang bangkit ini mempunyai suatu visi realitas yang masih sedang dibicarakan dan dieksplorasi pada saat ini tetapi lambat laun akan muncul sebagai sebuah paradigma yang baru, yang dipersiapkan untuk mengalahkan pandangan dunia a la Descartes di dalam masyarakat kita yang terbukti membawa dampak buruk bagi kemanusiaan.

Maka dari itu postmodern percaya bahwa narasi besar telah kehilangan kredibilitas dan tidak lagi memadai untuk memahami dunia kontemporer. Mereka yakin bagian fragmen tidak dapat digunakan untuk memahami keseluruhan, dan demikian pula sebaliknya. Menurut mereka, masing-masing fragmen atau konstruksi fragmen yang lebih kecil menduduki wilayah filosofisnya sendiri, memiliki makna yang dapat ditafsirkan tanpa harus merujuk pada gambaran yang lebih besar. Dengan demikian, mereka mengklaim bahwa narasi besar telah mati dan sekarang yang ada adalah, Jean Baudrillard, “permainan fragmen-fragmen”. Apakah memang benar demikian? Bila benar demikian, apa criteria untuk menentukan apakah suatu tindakan benar atau salah?

Sampai juga kita pada sebuah masa di mana segala sesuatunya membutuhkan penerjemahan baru. Apa yang disebut oleh orang-orang sebelumnya sebagai modern ternyata mesti segera dibuang ke tempat sampah karena keusangannya. Abad kegemilangan rasio digugat, realitas meluruh hingga tak lagi kita dapat dibedakan antara yang nyata dan tak nyata, segala totalitas menyebar, pusat runtuh, berbagai peristiwa mencuat mengganggu pada tahun 1968, serangkaian transformasi sosio ekonomi dan kebudayaan pada tahun 1970 dan 1980 menunjukkan bahwa kerusakan masyarakat sebelumnya telah muncul.

Hingga ada yang merindukan kembali pada masa keemasan Yunani dan Romawi, sementara lainnya kelabakan merancang tata social-politik baru di tengah ledakan-ledakan media, computer dan teknologi-teknologi baru, restrukturisasi kapitalise, perubahan politik, bentuk-bentuk kebudayaan baru, dan pengalaman-pengalaman ruang dan waktu baru menghasilkan suatu kondisi dimana perkembangan dramatis telah terjadi dalam budaya dan masyarakat. Post modernisme adalah filsafat yang tidak menyukai totalitas dan gerakan besar untuk mengahadapi persoalan besar, yang disebutnya sebagai “Narasi Agung” (Grand Narrative). Post modernisme menentang pendidikan ideologis dan gerakan politis. Serta menolak objektifitas dan metode mencari objektifitas yang disebutnya sebagai positivisme.

NEO MODERNISME: Kemarahan Kaum Ideolog

Dengan kemunculan Post Modernisme ternyata tidak serta merta persoalan selesai. Banyak di kalangan pemuja modernisme yang tidak terima mengenai keberadaannya. Alex Callinicos dalam bukunya yang berjudul Against Postmodernisme menggambarkan bagaiman postmodernisme meluas akan tetapi tidak mencari sumber ilmu pengetahuan, di mana realitas material yang akan dijelaskan menjadi acuannya, tetapi justru sibuk pada makna manusia dalam memersepsikan realitas. Dikatakan, bahwa bagi kaum post modernist, filsafat dan pengetahuan bukan lagi persoalan bagaimana memahami objek, tetapi telah beralih menuju persoalan bahasa, struktur pikiran, ilusi, makna, dan lain sebagainya. Dikatakan pula filsafat ini menjadi cara berpikir orang yang acuh terhadap realitas, karena realitas seakan tak ada gunanya dipahami, tetapi hanya dimaknai. Pemikiran yang sangat subjektif dan tidak serius.

Gunnar Myrdal, Ernest Gellner dan Andre Gorz dan kaum ideology yang lain kebakaran jenggot dan menggugat keberadaan filsafat post modernisme karena dianggap mengancam totalitas ideology mereka. Post modernisme adalah suatu gerakan yang –sebagai tambahan dari cacat lain: ketidakjelasan, kepura-puraan, ikut-ikutan, berlagak- melakukan kesalahan-kesalahan besar dalam metode yang direkomendasikannya. Kesukaannya akan relativisme dan perhatian berlebihan terhadap keanehan semantic membuatnya tidak dapat melihat aspek non-semantik yang ada dalam masyarakat dan, yang paling penting, asimetri yang mutlak meluas dalam kekuasaan kognitif dan ekonomi di dunia ini. Berkompromi dengan kekacauan global, yang diakibatkan oleh suatu kekuatan kognitif serta teknologi tertentu (teknologi informasi). Relatifisme yang menjadi sumber post modernisme tidak memiliki, dan tidak bakal memiliki, satu programpun, apakah itu politik atau bahkan dalam metode penelitian, usaha untuk membawa objeknya sendiri yaitu makna dari The Other. Terlalu memaksa objek untuk berbicara mewakili dirinya sendiri.

Pertarungan Yang Tak Kunjung Selesai

Filsafat adalah suatu ketidaktuntasan, yang tidak tuntas bukan hanya pencarian kebijaksanaan itu, melainkan juga upaya untuk menyatakan obyeknya itu sendiri, yaitu dunia atau realitas, tidak pernah mencapai maksudnya. Tugas filsafat adalah menemukan hakikat segala sesuatu, namun apa yang disebut hakikat tidak pernah dapat dideskripsikan sebagaimana adanya.

Filsafat adalah sebuah ketidaktuntasan. Filsafat tidak berhenti pada postmodernisme yang menghancurkan segala stagnasi dan dogmatisme, namun sekaligus menyudahi upaya untuk menciptakan dunia baru dengan pemaknaan baru. Tidak ada kata selesai, jika sebuah pemikiran filsafat dianggap selesai maka serta merta berubah menjadi ideologi. Dan itu berarti menjadi suatu masalah. Selamat bertarung..!

No comments:

Post a Comment