20 July 2010

Khalwat



Hembusan angin segar pagi hari, cericit burung-burung gereja, jalan yang lengang dengan lanskap gunung semeru di sebelah timur selalu memanggil jiwaku untuk selalu tinggal di sana. Masyarakatnya yang lugas, selalu menilai sesamanya dari amal perbuatan bukan dari casing yang mungkin memesona tapi menipu, membedakan Patokpicis dari dusun di sebelahnya yang hidup dalam bayang-bayang menjerat yang dilembagakan oleh para kapitalis agama. Beberapa orang pendatang berulangkali menggunakan arogansi intelektualnya untuk menangguk keuntungan ekonomi di dusun ini, tapi gagal. Kejujuran, apa adanya, kelakuan tanpa kepalsuan, itulah yang dihargai di tempat ini. Pemikiran yang rasionalis dan pragmatis merupakan ciri khas yang melekat.
Letaknya yang di dataran tinggi membuat udara di sini sangat sejuk bahkan terkesan dingin pada musim kemarau. Sangat menyenangkan ketika sore hari duduk di beranda rumah diliputi sinar matahari yang temaram sambil menyeruput kopi atau sesekali ke belakang rumah untuk menyongsong angin yang berhembus dari arah selatan, areal yang dipenuhi persawahan, segar..dan mendinginkan otak yang seharian dipenuhi kerepotan dan permasalahan. Malam hari setelah isya’ segera suasana menjadi sepi, sangat kondusif untuk merenung mengingat-ingat tentang makna hidup, membaca buku yang menyenangkan atau berdzikir menyebut keagungan Allah sampai subuh menjelang.
Inilah yang menyebabkan aku selalu rindu pulang ke Patokpicis, sebuah dusun kecil dan tidak terkenal, untuk merehatkan jiwa yang penat setelah disibukkan oleh perburuan duniawi. Tempat yang nyaman untuk merasa sepi dan sendiri, tempat yang aman untuk menghindarkan diri dari ekses derasnya perubahan zaman. Wal hasil, setahap demi setahap berpacu dengan waktu aku persiapkan segalanya di sini. Untuk berkhalwat, mengurai segala wujud dan mendedah segala substansi.