11 December 2011

GRAND SCENARIO TUHAN


Manusia lahir dengan membawa kodrat. Kodrat adalah suatu substratum tetap yang ditentukan dari sononya oleh Tuhan. Sejak semula dalam diri Tuhan sudah terdapat semacam rencana dimana esensi benda-benda ciptaan – juga esensi manusia- telah ditentukan. Dengan begitu, seorang manusia tidak dapat berubah mencapai taraf lebih tinggi daripada yang ditentukan oleh Tuhan lewat kodratnya sebagai sesuatu yang tidak bisa dilawan oleh manusia. Jika kemudian ada pertanyaan, “Apakah Anda bermaksud mengatakan bahwa saya tidak mampu memutuskan nasib diri sendiri?” Bisa saya katakana ya dan tidak, Anda mungkin mempunyai hak untuk menggerakkan ibu jari Anda ke arah manapun yang Anda sukai. Tapi ibu jari Anda hanya dapat bergerak sesuai dengan kodrat alamnya. Ia tidak dapat lepas dari tangan Anda dan bergoyang-goyang di sekeliling Anda. Anda mungkin bisa mengangkat satu kaki dan berdiri dengan satu kaki yang lain. Tetapi lain ceritanya jika Anda mengangkat kedua kaki secara bersamaan.
Tuhan bukanlah dalang yang menggerakkan semua wayang, mengontrol segala sesuatu yang terjadi. Seorang dalang mengontrol wayang-wayang itu dari luar dan karena itu dia merupakan penyebab lahiriah gerakan-gerakan wayang. Tapi bukan begitu cara Tuhan mengontrol dunia. Tuhan mengontrol dunia melalui hukum alam. Ini berarti bahwa segala sesuatu di dunia material ini terjadi karena harus terjadi. Hanya kalau kita bebas untuk mengembangkan kemampuan bawaan kitalah, kita akan dapat hidup sebagai makhluk bebas. Manusia dapat berjuang untuk mendapatkan kebebasan agar bisa hidup tanpa kendala lahiriah, tapi dia tidak akan pernah meraih ‘kehendak bebas’. Kita tidak mengontrol segala sesuatu yang terjadi dalam tubuh kita –yang merupakan mode atribut perluasan. Kita juga tidak dapat memilih pemikiran kita. Oleh karena itu, manusia tidak mempunyai ‘jiwa bebas’, jiwa itu kurang-lebih terpenjara di dalam badan mekanis.
Hasrat kitalah –seperti ambisi dan nafsu syahwat- yang menghalangi kita meraih kebahagiaan dan keselarasan sejati, tapi jika kita mengakui bahwa segala sesuatu terjadi karena memang harus terjadi, kita akan mendapatkan pemahaman intuitif tentang alam secara menyeluruh. Kita dapat sampai pada kesadaran yang benar-benar jernih bahwa segala sesuatu itu saling terkait, bahkan segala sesuatu itu adalah Satu. Perbedaan kelamin, tingkat kecerdasan, kekayaan, profesi, karakter sifat manusia dan sebagainya adalah supaya kehidupan bisa berjalan dengan semestinya. Jika tidak demikian, maka alam akan berjalan tidak dengan teratur, seperti seorang petani yang berdoa minta hujan agar tanamannya dapat tumbuh dengan baik dan segar sedangkan tetangganya yang sedang menjemur gabah berdoa pada Tuhan supaya hari itu panas dan tidak hujan. Tidak mungkin kemudian akan terjadi hujan sekaligus panas. Tujuannya adalah recara komprehensif memahami semua yang ada dalam suatu persepsi yang mencakup keseluruhan. Dengan begitu, barulah kita dapat meraih kebahagiaan dan kepuasan sejati.
Kita jangan terjebak ke dalam sikap yang fatalistik-deterministik, misalnya dengan menerima takdir buta sebagai penentuan Ilahi, dan hidup manusia ibarat wayang di tangan Tuhan Sang Dalang. Tipe orang beriman ini mungkin akan beranggapan bahwa manusia itu tak ada. Akan tetapi bukankah di dalam riwayat hidup orang-orang beragama (para nabi, wali dan ulama) bisa dilihat bukti sebaliknya, bahwa justru di dalam kepercayaan pada Tuhan, mereka mampu bersikap lepas bebas, misalnya terhadap segala pamrih atau keinginan serta nafsu tak teratur yang membutakan dan memperbudak. Bukankah banyak juga dari mereka bahkan rela (sikap bebas) kehilangan nyawanya daripada dipaksa untuk menyangkal imannya?
Maka, apakah Tuhan membatasi kebebasan manusia? Kebalikannya yang benar: hanya dalam relasi intensif dengan Yang Tak Terbatas, manusia mendapatkan kemerdekaan terhadap segala sesuatu yang hanya terbatas dan fana sifatnya. Apakah Tuhan memperbudak manusia? Sebaliknya: hanya dengan mengikatkan diri pada Tuhan dan kehendak-Nya, manusia tidak menjadi budak kekuasaan dan pesona duniawi. Justru berdasarkan hubungannya dengan Yang Mutlak, manusia beriman sanggup merelatitivir pelbagai kekuasaan manusiawi manapun, dan bahkan berani menentangnya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Sebagaimana dimaksudkan Louis Leahy, kebebasan tidak terjadi pada sebab-sebab kodrati (misal keadaan fisik kita), melainkan pada tingkat alasan-alasan atau motif-motif. Di sini manusia mampu mengorganisir sebab-sebab yang ada pada kodrat dan mengarahkannya sesuai dengan maksud dan keinginannya (atau bagaimana kita memaknai kodrat). Ini berarti bahwa pelaksanaan kebebasan hanya mungkin dengan menaati pembatasan kodrat atas kita.
Seorang Sartre menyadari keterbatasan fisiknya, badannya pendek (dia sendiri mengatakan fisiknya mirip kodok) dengan mata strabismus (juling). Di satu sisi, Sartre tahu bahwa sejak awal dirinya adalah perayu ulung dan membutuhkan cinta dari para wanita untuk kehidupan dan intelektualitasnya. Dia berusaha melampaui keterbatasan atau kodrat yang menimpa dirinya. Dengan kecerdasan filosofisnya (bukan keterbatasan fisiknya) akhirnya dia mampu ‘melahap banyak wanita’.
Kisah lain, pada pertengahan tahun 1974 ada sebuah prognosis tentang diri saya dari seseorang yang misterius. Selang beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya bulan September 2011 kemarin prognosis itu mewujud menjadi sebuah reality. Hal ini semakin memberikan pengertian pada saya bahwa kehidupan ini berjalan di atas kodrat atau Grand Scenario Tuhan. Namun apakah saya berpangku tangan mensikapi realitas tersebut? Tidak, meskipun mensikapi dengan rasa penasaran yang penuh misteri saya berusaha supaya hal tersebut berjalan dengan bahagia dan menyenangkan.

No comments:

Post a Comment