23 January 2012

TAMAN JIWA



Selain kesenangan yang muncul dari nafsu-nafsu yang melekat dengan penggunaan tubuh (epithumia) seperti makan, minum dan seks. Ada juga ”kesenangan-kesenangan lain”, yaitu kesenangan murni jiwa. Ada perbedaan antara kesenangan murni jiwa dengan kesenangan saat menggunakan tubuh sebagai instrumen.
Bila orang hidup melulu mengikuti nafsu tubuh, maka kenikmatan baginya adalah menumpuk harta benda, mendapatkan keuntungan material, mendapat kepuasan seksual dan semacamnya. Mengapa? Karena dengan harta benda ia bisa memenuhi hasratnya akan makan, minum, seks (menikah lagi) dan apa saja yang sejenis dengan itu.
Orang yang hidup mengikuti hasrat harga diri ( thumos), kenikmatan tertinggi adalah ketika ambisi-ambisinya tercapai dan mendapatkan penghargaan serta nama besar. Sementara orang yang mencintai kebijaksanaan dan kebenaran-kebenaran sejati, kenikmatan baginya tidak ditemukan dalam keuntungan material, bukan juga pada soal harga diri dan reputasi. Kenikmatan pencinta kebijaksanaan adalah pengetahuan akan hal-hal yang dalam dirinya sendiri benar, baik dan indah.
Dari berbagai macam kenikmatan yang ada, ada kenikmatan yang stabil dan murni yang hanya muncul dari aktifitas berpikir –yaitu saat intelek mengkontemplasikan yang intelligible atau idea. Kenikmatan ini berbeda dengan kenikmatan yang diperoleh binatang yang hanya melihat ke bawah, menunduk dan sekedar lekat pada hal-hal yang selalu berubah. Tunduk pada nafsu-nafsu makan, minum atau seks yang tak pernah puas, padahal semua itu semu, sehingga orang seperti kehausan untuk selalu mencari yang sejati dalam kesemuan, dengan akibat tak pernah puas, semakin terbenam dalam lingkaran tanpa pernah bisa melongok ke atas (terjebak dalam fatamorgana).
Hidup yang baik dan membahagiakan selalu diiringi kenikmatan. Namun bukan sembarang kenikmatan yang bersifat tak terbatas dan selalu meminta lagi dan lagi. Melainkan sebuah kenikmatan yang sudah diberi batas oleh rasio.
Ketika menganalisis sebuah fenomena muncullah rasa nikmat (kesenangan, pleasure, hedone). Ada dua macam kenikmatan sebagai efek terpenuhinya suatu kebutuhan yang berkenaan dengan tubuh. Saat perut terisi, hal yang bersifat fisik ini ditemani oleh sebuah efek, rasa nikmat. Sebaliknya, rasa sakit juga bukan karena kosongnya perut, melainkan suatu efek yang menyertai perut yang kosong. Namun, kedua, ada jenis kenikmatan lain yang tidak tergantung pada perubahan-perubahan fisiologis, yaitu rasa nikmat dan rasa sakit yang berkenaan dengan jiwa. Terlepas dari soal-soal fisiologis, saat jiwa cenderung pada sesuatu, orang bisa membayangkan dan merasakan nikmat atau sakit disitu. Jadi, tanpa adanya hal-hal yang bersifat fisis, kita bisa pula merasakan sakit atau nikmat. Dengan demikian, kenikmatan sebenarnya lebih berkaitan dengan penilaian jiwa manusia daripada fenomenon yang melulu fisik.
Dari situ, kenikmatan yang murni adalah semacam efek yang menyertai saat kita mempersepsi objek yang sejati (intelligible). Artinya, aktifitas rasional yang mengkontemplasikan objek sejati dengan sendirinya membawa kenikmatan.
Di titik ini, munculnya kenikmatan sebenarnya tidak lagi tergantung pada apa yang dirasakan jiwa, melainkan dari hal yang dikontemplasikan itu sendiri. Hal yang sejati (idea, keadilan, keindahan) dengan sendirinya membuat manusia senang, nikmat, puas. Sebaliknya, hal yang jelek dapat membuat jiwa sakit.
Sejauh jiwa menjadi dorongan yang hadir di tiap tataran diri manusia, pemuasan atas dorongan itu menyertakan kenikmatan pada tiap tingkatan manifestasinya. Namun secara keseluruhan, kenikmatan sejati akan dirasakan manakala ada harmoni dalam ”bagian” jiwa manusia, manakala rasio menjadi guide bagi kenikmatan-kenikmatan terukur di tiap bagiannya.
Jiwa yang sudah tercerahkan akan mudah untuk mencerap atau mencandra sesuatu di balik kenyataan, fenomena di balik yang maujud. Mencari substansi atau memaknai hakekat dari setiap kejadian dan peristiwa. Di samping memfungsikan mata fisik, seseorang juga dapat memfungsikan mata hatinya (Al-Bashiroh) dengan baik. Dunia makna adalah tempat yang paling disukainya, lebih dari dunia nyata tempat di mana dia hanya sekedar menjalankan kehidupannya sebagai manusia bersama manusia-manusia yang lain. Dia sibuk dengan permasalahan sebab akibat, kontinuitas, keabadian atau tata tertib alam semesta dan segala yang berjalan di dalamnya. Menciptakan sebuah taman jiwa dalam dirinya, bergembira dalam dunia ruhaniah. Semua aktifitas itu dia jaga dengan baik sampai dia bertemu dengan orang-orang bisa diajaknya berbincang-bincang. Karena bincang-bincang yang menyenangkan juga memberikan kebahagiaan.



-->

No comments:

Post a Comment