28 May 2012

MENCARI PEGANGAN

-->

Eksistensi Tuhan tak bisa dibuktikan oleh akal. Pengetahuan rasional tak memberikan makna kehidupan. Hanya iman yang memendam kebijaksanaan manusia terdalam. Tulisan ini tentang pencarian seorang pengembara kesepian atas kedamaian batin. Menyuguhkan pandangan personal mendalam dari relung hati tentang pergolakan spiritual, langkah-langkah salah yang pernah diambil, perasaan was-was, tahun-tahun keraguan, keputusasaan, pencarian akhir kepastian religius, spiritual yang dalam dan sebuah keyakinan.
Apapun keyakinan itu dan apapun jawaban yang mungkin dan pada siapapun diberikan, setiap jawaban memberi makna tak terbatas pada eksistensi terbatas manusia. Suatu makna yang tak hancur oleh penderitaan, kehilangan atau kematian. Ini berarti, hanya dalam iman kita bisa menemukan makna dan kemungkinan bagi kehidupan. Iman adalah kekuatan hidup. Jika seorang manusia hidup, ia akan percaya pada sesuatu. Jika ia tak percaya bahwa orang harus hidup untuk sesuatu ia tak akan hidup atau sudah mati dalam kehidupan. Jika ia memahami sifat menyesatkan dari yang terbatas, ia harus percaya pada yang tak terbatas.
Aku merasa, untuk memahami makna hidup ini diperlukan yang pertama, hidup mestinya bukan tak bermakna dan bukan kemalangan. Kemudian diperlukan akal budi guna menjelaskanya. Jika tak ada kehidupan, akal budi tak akan ada. Karena itu akal budi adalah anak kehidupan. Akal budi ada karena memberi respon terhadap kehidupan. Pengetahuan filosofi tak mengingkari apapun, tapi hanya menjawab bahwa pertanyaan itu tak bisa dipecahkan olehnya –bahwa untuk itu, solusinya tetap tak tentu.
Kupahami mengapa aku terjebak dalam pengembaraan tak kenal usai padahal kebenaran itu sangat jelas. Jika orang berpikir dan bicara soal kehidupan maka dia harus menjalani kehidupan itu, bukan membicarakan kehidupan orang lain. Pengetahuan akan kebenaran hanya bisa ditemukan dengan menjalaninya.
Selama bersama dengan arah pikiran dan pengamatan tentang apa yang telah kucari selama ini, hatiku tertekan oleh perasaan yang menyakitkan yang hanya bisa kugambarkan sebagai mencari Tuhan. Kukatakan bahwa pencarian ini bukan pemikiran melainkan perasaan. Pencarian ini berproses bukan dari alur pemikiranku. Itu bahkan secara langsung bertentangan dengan pemikiranku. Sebaliknya itu berproses dari hati. Itu perasaan akan kekhawatiran, kesendirian, terkucil di tempat asing dan harapan akan uluran tangan dari seseorang.
Kita tak bisa berhenti untuk mengetahui rahasia kebahagiaan. Hiduplah penuh keceriaan bersama isteri atau orang-orang yang kau cintai selama hidup yang sia-sia ini. Jangan kau lupa, untuk setiap istana, ada seribu orang yang harus membangunnya dengan lelehan keringat.

MENARIK DIRI



Suatu kekuatan yang tak bisa dibendung mendorongku untuk menarik diriku dari kehidupan manusia dengan satu cara atau cara lain. Selalu hanya ingin pergi sejenak. Aku sendiri tak tahu apa yang kutunggu. Selalu ada perasaan ingin meloloskan diri dari sesuatu tapi anehnya masih berharap sesuatu darinya.
Mencari seseorang untuk bersama-sama mencari keselamatan –tapi tak kutemukan siapapun. Aku jadi yakin bahwa semua, sebagaimana diriku, yang telah mencari makna kehidupan dalam pengetahuan, sama-sama tak menemukan apapun. Bukan hanya tak menemukan apapun tapi secara sederhana mengetahui bahwa hal pokok yang membuatku putus asa –yaitu kesia-siaan hidup- adalah satu hal yang tak dapat diragukan.
Aku mengerti pemikiran-pemikiran filosof itu sangat menarik, tapi mereka tepat dan jelas dalam proporsi terbalik dengan kemampuan mereka terhadap soal kehidupan. Mereka tak memberi jawaban atas persoalan kehidupan. Untuk memahami siapakah dirinya sebenarnya seseorang harus lebih dulu memahami seluruh umat manusia yang terdiri dari orang-orang seperti dirinya yang tak memahami satu sama lain. Jika mereka filosof sejati tugasnya hanya mencoba memperjelas pertanyaan itu.
Dunia adalah sesuatu tanpa batas dan tak bisa dipahami. Kehidupan manusia adalah bagian yang tak bisa dipahami dari ’semua yang tak bisa dipahami itu’. Kita mendekati kebenaran hanya karena kita menyimpang dari kehidupan. Dimana tak ada kehendak, tak ada perwujudan dan tak ada dunia. Di depan kita, tentu saja tinggal ketiadaan. Tapi yang menahan transisi ke ketiadaan ini hanyalah kehendak yang sama untuk hidup (Wille zum Leben).
Semua adalah kesia-siaan. Keuntungan apa yang dimiliki manusia dari seluruh pekerjaan yang dilakukannya di bawah kolong langit ini? Satu generasi berlalu dan generasi lainnya datang, tapi bumi tetap ada selamanya. Dalam banyak kearifan ada banyak duka cita dan ia yang bertambah pengetahuannya bertambah pula kesedihannya. Mereka juga tak lagi mendapat penghormatan karena memori tentang mereka terlupakan. Juga cinta, kebencian atau jasa mereka kini binasa. Mereka juga tak lagi punya bagian selamanya dalam hal apapun yang telah dilakukan di dunia.

MENULIS KEHIDUPAN


Setiap kali kucoba untuk mengekspresikan hasrat yang paling dalam yang baik secara moral, aku menghadapi ejekan dan hinaan. Tapi begitu aku berhasil menurunkan hasratku, aku dipuji dan disemangati karena memang sekelompok manusia menginginkan keseragaman dan membenci seseorang yang tidak sama dengan mereka. Ambisi, cinta kekuasaan, ketamakan, hal-hal yang menimbulkan nafsu berahi, kebanggaan, kemarahan dan balas dendam- semua itu dihormati.
Sebetulnya, penentu baik dan jahat bukan apa yang dikatakan dan dilakukan orang lain juga bukan kemajuan yang tercapai melainkan itu adalah hatiku dan aku sendiri. Tak ada teori yang bisa memberi jawaban atas penderitaan manusia. Penyebab aku berubah bersama semua itu akan diketahui suatu hari. Kondisi baru kehidupan keluarga yang nyaman benar-benar mengalihkanku dari semua pencarian makna hidup.
Aku menulis untuk mengajarkan pada diriku sendiri kebenaran satu-satunya yang mestinya dijalani agar memperoleh yang terbaik bagi diri sendiri maupun keluarga. Tersesat dan menjadi patah semangat, kondisi itu selalu terekspresikan dalam pertanyaan untuk apa? Akan kemana? Semula tampak bagiku semua itu tak bertujuan dan merupakan pertanyaan-pertanyaan tak relevan. Kupikir semua sudah diketahui dan jika aku pernah menghadapi solusinya hal itu tak akan membutuhkan banyak upaya. Sebagaimana kini aku tak punya waktu untuk itu. Tapi ketika menginginkan demikian aku harus mampu menemukan jawabannya.
Pertanyaan-pertanyaan itu, bagaimanapun, mulai sering berulang dan terus menerus menuntut jawaban. Seperti tetesan-tetesan tinta yang jatuh di suatu tempat, tetesan-tetesan itu mengumpul jadi satu noda hitam yang mungkin akhirnya menjadi tulisan atau puisi. Sederhana bagiku bahwa tulisan dan puisi adalah perhiasan kehidupan, pemikat hidup. Refleksi kehidupan dalam puisi dan tulisan dari semua jenis memberiku kesenangan. Sungguh menyenangkan untuk melihat kehidupan di cermin tulisan.
Itulah yang terjadi padaku. Aku mengerti itu bukan keadaan kurang sehat atau kegelisahan, melainkan sesuatu yang sangat penting. Jika pertanyaan-pertanyaan itu terus berulang-ulang, maka harus dijawab dan kucoba menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan itu tampaknya sederhana, kekanak-kanakan, bodoh bahkan naif, tapi begitu ’kusentuh’ dan kucoba memecahkan, aku menjadi yakin seketika tentang ketidaksederhanaannya. Selama aku belum tahu jawabnya, aku tak bisa melakukan apapun dan tak bisa menjalani. Tak ada kehidupan karena tak ada harapan yang akan terwujud dan bisa kuanggap masuk akal. Aku bahkan tak bisa berharap untuk mengetahui kebenaran, karena sudah kuterka apa isinya.

GOYAH


Kemampuan, kejujuran, keandalan, budi pekerti yang baik dan sikap moral sering ditemui di kalangan orang-orang yang tidak bicara agama. Sekarang sebagaimana sebelumnya, doktrin agama diterima berdasarkan kepercayaan dan didukung oleh tekanan eksternal, dibenahi secara bertahap di bawah pengaruh pengetahuan dan pengalaman hidup yang berkonflik dengannya. Seseorang sangat sering menjalani hidup dengan membayangkan bahwa ia masih menganut secara kukuh doktrin agama yang diajarkan padanya semasa kecil, sedangkan faktanya pada masa kini tak ada bekasnya lagi. Jika keyakinan bagi mereka adalah cara mencapai tujuan secara harfiah, maka tentunya itu bukan keyakinan.
Perasaan skeptisku terhadap doktrin menjadi suatu kesadaran pada usia yang sangat dini. Kupelajari semua ’kebenaran’ yang bisa kupelajari, apapun yang ’dilemparkan’ kehidupan di jalanku. Serta membiasakan diri terhadap daya tahan dan kesabaran dengan bermacam kekurangan.
Apa yang kulakukan ketika mencari jawaban tentang kebenaran dalam lembaga-lembaga pendidikan formal? Aku ingin tahu mengapa aku hidup dan untuk maksud ini, kupelajari semua yang berada di luar diriku. Jelaslah, aku menghabiskan 23 tahun, tapi tak ada pengetahuan tentang apa yang kubutuhkan.
Apa yang kulakukan ketika kucari jawaban dalam bacaan-bacaan filosofis? Aku mempelajari pemikiran-pemikiran mereka yang telah menemukan diri mereka. Dalam pandangan yang sama denganku, jelaslah aku mungkin tak mempelajari apapun melainkan apa yang kutahu tentang diriku sendiri yaitu tak ada yang bisa kuketahui. Siapakah aku? Bagian dari yang tak terbataskah? Dalam sedikit kata-kata itu, terletak keseluruhan masalah. Pertanyaan yang begitu sederhana dan keluar dari lidah setiap anak bijak. Sejak manusia tercipta, relasi antara yang terbatas dengan yang tak terbatas telah dicari dan dinyatakan.
Alasan pertama keraguanku adalah aku mulai memperhatikan bahwa para tokoh agama sama sekali tidak sesuai dengan diri mereka sendiri. Saling mengumbar kebenaran, padahal terhadap pertanyaan paling sederhana tentang kehidupan: apa yang baik dan yang buruk, mereka tidak bisa fokus bagaimana menjawabnya. Mereka semua tak saling mendengarkan. Sebaliknya bicara bersamaan, kadang saling mendukung dan memuji agar ganti didukung dan dipuji. Kadang jadi marah satu sama lain- persis seperti di rumah sakit jiwa. Selalu marah bahwa mereka tak mendapat cukup perhatian. Seperti semua orang gila, menyebut semua orang adalah gila kecuali dirinya sendiri.
Perdebatan tentang kebenaran hanya berhasil dalam menyembunyikan ketidaktahuan mereka dari satu sama lain. Aku melihat apa yang mereka bagikan sebagai keyakinan tak menjelaskan makna kehidupan. Sebaliknya mengaburkannya. Mereka sendiri mengukuhkan keyakinan bukan untuk menjawab pertanyaan soal kehidupan yang dapat membawaku pada keyakinan, tapi untuk beberapa tujuan lain yang asing bagiku.
Pekerjaan otoritas-otoritas agama dalam mendakwahkan kebenaran adalah untuk melindungi otoritas kekuasaan yang diwariskan secara turun temurun. Kualihkan perhatianku pada apa yang dilakukan atas nama agama dan aku merasa geli sekaligus ngeri. Aku hampir menyangkal otoritas itu sepenuhnya. Hubungan kedua antara otoritas keyakinan dengan soal kehidupan adalah berkaitan dengan perang dan eksekusi.
Kuingat perasaan menyakitkan terhadap ketakutan akan jatuh kembali ke dalam keadaan putus asa seperti sebelumnya, setelah harapan yang sering kualami dalam pergaulanku dengan mereka. Makin banyak doktrin yang mereka jelaskan padaku, makin jelas aku merasakan kesalahan mereka dan menyadari harapanku untuk menemukan penjelasan tentang makna kehidupan dalam keyakinan mereka adalah sia-sia.
Bukan bahwa dalam doktrin mereka, mereka mencampurkan banyak hal yang tak perlu dan tak masuk akal dengan kebenaran-kebenaran agama. Itu bukan hal yang meresahkanku. Aku resah oleh fakta bahwa hidup orang-orang ini, seperti hidupku, demikian tak sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka paparkan dalam ajaran mereka sendiri.
Aku merasa mereka menipu diri sendiri dan mereka, sama sepertiku, tak menemukan makna kehidupan lainnya selain menjalani hidup selama kehidupan berlangsung dan dunia masih berputar. Aku melihat ini karena jika mereka punya makna yang menghancurkan ketakutan akan kehilangan, penderitaan dan kematian, mereka tak kan takut pada semua ini.
Tak ada argumen yang bisa meyakinkanku tentang kebenaran akan keyakinan mereka. Kecuali  perbuatan-perbuatan yang bisa menunjukkan bahwa mereka melihat suatu makna dalam kehidupan, yang membuat apa yang sangat menakutkan bagiku –kemiskinan, penyakit dan kematian- dan tak menakutkan bagi mereka, bisa meyakinkanku.
Sangat berlawanan dengan cara orang-orang di lingkungan terdekatku (mereka orang-orang sederhana, orang-orang biasa) dalam hal mensikapi nasib karena kehilangan dan penderitaan. Mereka menerima penyakit dan duka cita tanpa kebingungan dan menentang. Dengan diam dan keyakinan kokoh bahwa semua itu akan baik-baik saja. Mereka tahu makna kehidupan dan kematian, bekerja diam-diam, menerima kehilangan dan penderitaan serta menjalani hidup dan mati dengan memandang semua itu bukan sia-sia melainkan biasa.
Orang-orang kaya dan terpelajar, bukan hanya menjadi sangat tidak kusukai tapi kehilangan semua makna di mataku. Semua tindakan, diskusi, buku akademis dan jurnal ilmiah, menampilkan diri padaku dalam bentuk yang lain. Kupahami semua itu hanya kemanjaan diri dan tak mungkin menemukan makna di dalamnya. Sedangkan hidup semua manusia biasa itu, semua orang yang menghasilkan kehidupan, bagiku memiliki makna yang sebenarnya. Kupahami bahwa itulah hidup itu sendiri dan makna yang diberikan pada hidup itu adalah kebenaran dan aku menerimanya.
Aku berhenti ragu dan menjadi yakin sepenuhnya bahwa tak semua benar dalam otoritas kebenaran yang kutemui. Semua orang punya pengetahuan tertentu tentang kebenaran. Dalam keyakinan orang-orang, kebohongan juga bercampur dengan kebenaran. Betapapun mungkin tampak liar bagi pikiran lamaku yang mapan tapi itu satu-satunya harapan ketenangan. Hal itu harus diperiksa dengan penuh perhatian dan hati-hati agar bisa memahaminya.
Bahwa ada kebenaran dalam otoritas itu bagiku tak bisa diragukan, tapi juga pasti ada kebohongan di dalamnya. Aku harus menemukan apa yang benar dan yang salah, dan harus membebaskan yang satu dari lainnya. Aku akan mengerjakan tugas ini. Kebohongan yang kutemukan dalam ajaran itu dan yang kutemukan tentang kebenaran serta terhadap kesimpulan yang kuperoleh akan membentuk bagian-bagian pekerjaan ini berikutnya. Jika hal itu berharga dan jika anak keturunanku menginginkannya, suatu hari mungkin akan jadi monumen.