15 August 2012

ZIARAH


Bagi saya, yang memberi arti pada hidup adalah keterarahan kepada masa depan yang dicita-citakan. Bukan masa depan yang dikhayalkan. Dan bukan cita-citalah yang menentukan arah hidup, tetapi arah itu yang menentukan cita-cita. Hidup berarti menghayati diri dan makin menjadi diri sendiri. Sebab tujuan hidup hanya punya arti sejauh dimengerti. Bukan pemahamanlah yang memberi arti, tetapi perkembangan menurut arah yang dipahami. Sekaligus menjaga jarak terhadap dunia.
Jarak terhadap dunia konkret bukanlah suatu contemptus mundi, penolakan terhadap dunia. Sehingga keterlibatannya dalam dunia tidak mengikatnya pada dunia. Ia selalu mengambil jarak, paling sedikit dalam hatinya. Titik pangkal bukanlah dunia, melainkan hatinya sendiri. Tidak membatasi diri oleh pengalaman hidup yang terbatas. Berarti, menerima keterbatasan diri dalam kesadaran diri. Dalam kesadaran bahwa pada dasarnya hidup tidak terbatas dan kita hanya berziarah di alam semesta ini.
Ziarah bukanlah suatu ide atau gagasan, melainkan pengalaman dan penghayatan. Dengan tetap berjalan, tetapi pelan-pelan, ganti persneling. Menjalankan yang biasa, tetapi rutin. Dengan tetap mencari, dengan mata terbuka untuk sesuatu yang baru, yang bisa memberi inspirasi. Hal ini sangat membutuhkan keberanian.
Keberanian bukanlah ketegasan dalam mengambil aneka keputusan, melainkan adalah keberanian untuk menjadi diri sendiri. Adakah yang masih berani menjadi diri sendiri? Semua takut bahwa keberadaannya tidak diterima kalau punya gaya sendiri dan tidak menyesuaikan diri dengan yang lain. Orang tidak berani masuk ke dalam dirinya sendiri, karena pandangannya selalu terarah keluar –untuk menyesuaikan diri agar semua bisa berjalan dengan baik. Semua berjalan baik, tetapi tidak punya arti.
Di sisi lain, orang yang beriman adalah  peziarah di dunia ini. Dia berada dalam dunia, sibuk dengan urusan dunia dan melibatkan diri untuk menangani permasalahan dunia. Namun dia tidak tenggelam di dalamnya. Dia masih memiliki peluang untuk mengambil jarak dari dunia. Kesanggupan untuk mengambil jarak inilah yang memberikan ruang bagi keterbukaannya bagi Allah, bagi satu perspektif lain untuk menilai dunia dan mentransformasikannya.
Berziarah berarti berjalan menuju tempat tertentu. Inti dari ziarah bukan hanya pencapaian tujuan, melainkan pengalaman perjalanan dan refleksi atasnya. Perjalanan memerlukan waktu. Waktu dan jarak merupakan unsur penting untuk menciptakan kondisi batin tertentu. Kerinduan akan tujuan, kesadaran akan semua yang diperoleh di tengah jalan adalah bantuan yang bermanfaat yang akan mengantar kepada tujuan itu sendiri. Ziarah yang dilaksanakan sebagai perjalanan akan memberikan waktu yang cukup bagi permenungan.
Peziarah bukanlah berarti pelancong atau turis. Sebab perjalanannya punya tujuan, biarpun itu tidak selalu jelas. Yang jelas hanyalah arah perjalanannya, sebab perjalanan diarahkan dari dalam hati dan budi si pejalan itu sendiri. Pegangan dalam perjalanan manusia adalah pengharapan. Itulah tema pokok menurut Ernst Bloch seorang filosof Marxist Jerman, yang menegaskan bahwa pengharapan bukanlah sesuatu yang kabur dan samar-samar. Pengharapan adalah pegangan hidup di tengah dunia yang tidak punya arah.
Sementara kita belum melihat apalagi punya kepastian tentang arah dan mengenai akhir, kita berkiblat diri dan membenahi kembali jalan-jalan yang kita tempuh. The realized eschatology terdapat dalam langkah-langkah mereka yang menempuh ziarah. Manusia tidak mendapatkan ketenangan dalam dirinya sendiri. Dia terpuruk dalam kesombongan dan egoisme dalam usahanya untuk menjadi istimewa. Maka, pengalaman batin orang sewaktu berziarah biasanya hanya bisa dipahami kekayaannya kalau ditempatkan dalam continuum perjalanan hidup orang itu sendiri. Bukankah seluruh hidup ini adalah sebuah laku ziarah? Singkatnya, karena terbukanya indera rohani peziarah, perjumpaan sesederhana apapun bisa menjadi awal sebuah pengalaman rohani yang mengubah, yang dapat terus menggema sepanjang perjalanan ziarah kehidupan.
Bisa saja seseorang tidak lagi menemukan jalan kepada penghayatan keagamaan dalam wadah agama-agama tradisional. Sebaliknya seseorang dapat saja menemukan ekspresi religiusitasnya di dalam ziarah atau kembali menemukan jalannya kepada religiusitas itu melalui ziarah. Yang pasti, ziarah didorong oleh keyakinan bahwa dengan melaluinya orang akan mengalami pertemuan yang intensif dengan kekuatan ilahi, yang memberi daya penyembuhan fisis atau pemulihan dan penyegaran batin.
Ziarah membuat orang peka terhadap banyak hal yang kurang mendapat perhatian dalam keseharian. Ziarah hadir dalam jiwa orang-orang miskin, cacat dan berdosa, yang tidak mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam ibadah resmi di tempat-tempat ibadah. Ziarah bukanlah sebagai kunjungan pada tempat-tempat suci dan keramat, tetapi justru sebagai perjalanan dalam suasana do’a dan refleksi. Dengan asketisme, perjalanan melangkah maju, sambil mencari inspirasi dari segala sesuatu yang dilewati. Ziarah adalah untuk hidup yang mesti diwujudkan kembali.

No comments:

Post a Comment