30 November 2013

GAGAL MENCAPAI KEBAHAGIAAN



Bahagia atau kebahagiaan (happines) demikian ia disebut sudah menjadi perburuan purba. Tidak satu diripun yang tidak mencari keberadaannya, sebaliknya di berbagai tempat dan waktu, setiap manusia selalu hidup untuk mengejar mimpi misteri bernama kebahagiaan. Ada yang menempuh jalan sebagai filosof, sufi, resi, pertapa, pengembara, peziarah atau bahkan ada yang tidak menempuh jalan apapun karena tidak tahu kemana mencari kebahagiaan tersebut. Kitab suci diturunkan, nabi dan rasul diutus, berbagai kitab dan buku ditulis, meskipun demikian, ia tetap menjadi misteri agung. Hanya mereka yang mengetahui kunci rahasianyalah yang bisa memilikinya. Namun, hingga saat ini manusia tidak tahu siapa yang mengetahui kunci dari hidup bahagia tersebut.
Dari masa ke masa bermunculan kelompok dan individu yang melakukan penelitian dan riset secara mendalam. Di antara mereka akhirnya menemukan bahwa pencarian itu dilandasi oleh pengetahuan akan diri sendiri. Bagaimana mungkin kita mencari tahu sesuatu dengan bijaksana kalau kita tidak mengenali diri kita sendiri. Karena substansi manusia adalah jiwanya bukan tubuhnya yang memenjarakan maka kajian tentang jiwapun menjadi tema pokok mereka.
Ikhwan as-Shafa, sebuah persaudaraan rahasia pada masa dinasti Abbasiyah, menjelaskan bahwa jiwa yang berpengetahuan, substansinya akan bersih karena tidak terkotori perilaku jahat dan moralitas rendahan serta pandangan-pandangan sesat (pandangan-pandangan tentang fenomena yang tidak sesuai dengan hakekat realitasnya). Akan tampak darinya bentuk-bentuk atau gambaran-gambaran sempurna realitas-realitas imaterial di dunia spiritual (vision) hingga jiwa itu dapat menangkapnya sesuai dengan realitas yang sebenarnya dan menyaksikan realitas-realitas non fisik, sebagaimana indera lahir yang sehat  menangkap objek berupa realitas-realitas material. Terdapat hubungan kausalitas antara vision (musyahadah)  dengan kebahagiaan (as-sa’adah).
Sebaliknya jiwa yang terus menerus dalam keadaan terkotori oleh kebodohan, perbuatan jahat dan moralitas rendahan serta pandangan-pandangan sesat, ia akan selalu terhalang untuk bisa menangkap realitas-realitas non fisik di atas dunia fisik ini. Ujungnya, ia tidak akan mampu ’mengenal’ Tuhan. Lebih rinci lagi, hijab manusia dengan Tuhannya yang berupa kebodohan terhadap substansi diri sendiri, dunianya, tempat asal dan kembalinya akan berakibat dirinya diliputi oleh perbuatan-perbuatan jahat dan merugikan orang lain.
Jiwa yang senantiasa diliputi oleh hijab-hijab di atas, selain berakibat ia tidak bisa melihat dirinya sendiri, juga tidak akan bisa tampak darinya sesuatu yang baik lagi indah dan lezat. Jiwa semacam itu tidak akan merasakan kesenangan dan enggan berusaha mencapai apalagi merindukan padanya. Mereka tidak bisa mencapai kenikmatan lebih tinggi dan abadi yang bersifat rohani (imaterial). Inilah jiwa-jiwa yang menderita dan gagal mencapai kebahagiaan.

No comments:

Post a Comment