13 January 2014

AL-QURAN: BAHASA YANG TERMAMPATKAN



Pada tulisan yang lalu saya menyampaikan bahwa bahasa al-Quran tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Jika hal itu dilakukan akan ada sesuatu hal yang tak tersampaikan. Satu hal yang tak mungkin tersampaikan ketika menerjemahkan ayat-ayat tersebut adalah kesesuaian yang mengagumkan antara nada ayat dan maknanya. Mungkin kita tidak cukup sekadar mengatakan bahwa nada ayat itu selaras dengan maknanya, tetapi lebih dari itu, nada ayat itu sendirilah yang melahirkan maknanya.
Mereka yang mengerti musik tahu bahwa alunan nada-nada dapat menyampaikan pesan meskipun tidak diiringi lirik. Bahkan banyak dari mereka yang percaya bahwa musik bisa menyampaikan makna yang tidak bisa disampaikan oleh kata-kata. Al-Quran bukanlah musik, tetapi ketika dibaca, ia memiliki efek terhadap pendengaran manusia seperti efek alunan musik. Selain teknik melodi yang mungkin digunakan pembacanya, ayat-ayat al-Quran sarat dengan irama, nada puitis dan sajak.
Dari sisi ini, bahasa Arab al-Quran meminjam pola oral puisi pra-Islam, tetapi al-Quran bukanlah puisi. Menurut seorang ulama, bahasa Arab al-Quran merupakan perpaduan unik antara prosa bersajak (saj’) dan prosa bebas. Al-Quran sarat dengan nada-nada puitis, yang tertuang dalam ayat yang panjang maupun pendek. Beragam pola sajak, ritme dan nada akhir yang tanpa rima dan juga perbedaan panjang surah-surahnya secara keseluruhan merupakan komposisi sastra yang berkaitan erat dengan makna yang disampaikan. Jadi, menurut Issa J. Boullata dalam Encyclopedia of the Quran, dapat disimpulkan bahwa semua itu merupakan unsur penting dalam proses penyampaian pesan al-Quran.
Karena nada al-Quran sangat terkait erat dengan maknanya, kita harus menyoroti sejumlah aspek bunyi ayat-ayat tertentu ketika membahas makna kata-katanya. Jika ini tidak dilakukan, sangat mungkin kita tidak dapat memahami sejauh mana kaum muslim di masa Nabi terpengaruh oleh gaya, ungkapan dan lantunan ayat-ayat al-Quran. Namun, ini tidak berarti bahwa mendengarkan bacaan al-Quran semata menjadi pengalaman estetis bagi mereka, sebab al-Quran sendiri menegaskan bahwa ia bukanlah puisi. Al-Quran menegaskan kedudukannya sebagai mahakarya yang unik dan tidak bisa ditiru.
Salah satu aspek ketaktertiruan al-Quran adalah kandungan maknanya yang tersimpan apik dan termampatkan dalam rangkaian ayat-ayatnya. Memisahkan pesan atau makna dari ungkapannya akan menyebabkan kita tak dapat memahami dengan baik pengaruh al-Quran terhadap pendengar atau pembacanya di sepanjang abad. Bahasanya menjelaskan semua kemungkinan tentang manusia, Tuhan dan alam semesta dengan menggunakan gaya bahasa yang khas dan ilahiah yang dapat digali dengan potensi yang sudah melekat pada diri manusia yaitu akal dan intuisi atau potensi intelektual dan spiritual.
Para ulama yang menekuni al-Quran umumnya suka menelusuri semua nuansa yang mungkin terkandung dalam sebuah kata yang dapat memperkaya ruhani seseorang. Tapi tentu saja, tidak semua orang Islam tertarik dengan al-Quran atau mampu mempelajari dan menghafalnya. Kebanyakan mereka hanya memiliki hubungan pasif dengan al-Quran. Jelasnya, mereka suka mendengar bacaan yang fasih dan indah, tetapi tak tergerak untuk mempelajarinya secara serius. Inilah yang terjadi selama berabad-abad.

”Katakanlah, ”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) al-Quran ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.”
”Dan sungguh, Kami telah menjelaskan berulang-ulang kepada manusia dalam al-Quran ini dengan bermacam-macam perumpamaan, tetapi kebanyakan manusia tidak menyukainya bahkan mengingkari(nya).
(Memperjalankan di Malam Hari: 88-89)


No comments:

Post a Comment