23 August 2014

OALAAH...SEKOLAH..!


Kalau dipikir-pikir, selama sekolah, yang secara praktis membekas dan betul-betul saya rasakan manfaatnya dalam kehidupan justru dari kegiatan ekstra kurikuler. Aktif di kegiatan Pramuka pada waktu SMP dan organisasi dakwah pada waktu SMA. Pramuka menurut saya mengajari hidup mandiri dan tidak gamang menghadapi kesulitan-kesulitan hidup, sedangkan keterlibatan saya di organisasi dakwah telah membelokkan cita-cita saya yang semula ingin menjadi serdadu menjadi seperti sekarang ini.
Sebagian besar keilmuan yang menjadi minat saya justru saya peroleh dari luar lembaga pendidikan formal dan dari membaca. Ya, selain dari bermain dan berinteraksi dengan teman-teman di sekolah atau organisasi saya juga membaca. Pada waktu SD banyak membaca dongeng dari buku perpustakaan sekolah tempat bapak menjadi kepala sekolah dan dari majalah anak-anak bekas yang dibelikan bapak di loakan di kota Malang. Sewaktu SMP berlangganan menyewa komik dan novel dari dua persewaan di desa. Semasa SMA mulai berkenalan dengan buku-buku keagamaan yang saya temukan di musholla sekolah. Bebas saja membaca apa yang memang ingin saya baca. Benar-benar menyenangkan. Cuma kemudian ada dampaknya, saya menjadi tidak nyaman dengan proses pembelajaran yang ada di sekolah.
Aturan seragam (yang tidak memakai seragam lengkap dipermalukan di depan peserta upacara), tata tertib, hukuman, sistem ranking, intimidasi menjelang ujian dan sebagainya benar-benar membuat gelisah. Bahkan sampai sekarang saya masih sering bermimpi ketakutan menghadapi EBTANAS (nama ujian nasional sekitar tahun 90-an). Sampai muncul pertanyaan dalam hati bukankah pendidikan itu seharusnya harus memberi harapan dan kehidupan dalam diri siswa bukan malah memberi kekhawatiran dan kegelisahan?
Eric Weil seorang filosof Jerman memberikan jawaban tentang tiga hal penting yang sebenarnya harus terjadi dalam proses pendidikan di keluarga lebih-lebih di sekolah formal. Pertama, sekolah merupakan tempat untuk mengembangkan pengetahuan (menuntut ilmu). Kedua, sekolah merupakan tempat untuk mengalami persahabatan, menghargai keragaman dan mengembangkan dialog. Ketiga, sekolah merupakan komunitas (yang membekali pengetahuan yang luas dan pengalaman hidup bersama) yang menumbuhkan idealisme tentang makna hidup bersama dan tanggung jawab sosial. Ketika sekolah mengabaikan salah satu dari tiga hal penting tersebut, sekolah tidak mampu memberi sumbangan bagi terwujudnya masyarakat yang sehat. Sekolah tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.
Fungsi sekolah sekarang seolah-olah tidak lebih dari pembuat ranking, dari juara pertama sampai level yang terendah. Menyerupai perlombaan balap karung, siapa yang menjadi pemenang akan dapat hadiah. Maka orang-orang tua bangga sekali kalau anaknya menjadi juara kelas. Sangat menjadi kehormatan kalau orang tua dipanggil ke pentas untuk menerima piagam penghargaan dan hadiah dari sekolah. Sedangkan anak-anak yang masuk kategori ’bodoh’ hanya bisa menonton dari jauh dan gigit jari. Coba, dengar saja percakapan orang tua di sekolah saat pembagian raport: ”Eh anaknya ranking berapa?” ”Kalau anak saya ranking pertama dong!”.
Sebetulnya siapa sih yang bisa menjamin anak yang juara pertama nanti setelah dewasa akan menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama? Terus terang saya pribadi tidak sreg dengan sistem peringkat di sekolah. Peran guru bukanlah memilah-milah anak-anak didiknya antara yang pintar dan yang bodoh. Bahkan guru tidak boleh menampakkan isyarat membeda-bedakan seorang anak didik dengan lainnya.  Apalagi sampai mengatakan seorang anak didiknya bodoh. Perkataan itu tidak akan membuat dia berubah menjadi pintar, bahkan akan membuatnya rendah diri, kehilangan kepercayaan dan bisa merusak masa depannya.
Pendidikan kita sesungguhnya kehilangan arah dan fokus. Anak-anak didik dijejali berbagai macam ilmu pengetahuan sehingga kepalanya penuh, luber, dan akhirnya tidak ada yang nyangkut. Materi pelajaran yang banyak bukan saja tidak efektif tapi juga membuang waktu dan energi para peserta didik tanpa hasil yang maksimal. Pendidikan yang hanya mementingkan pengembangan ilmu dengan memberi banyak tugas dan pekerjaan rumah, tambahan pelajaran dan les privat akan mengurangi atau bahkan menghilangkan porsi pengembangan karakter dan tanggung jawab sosial. Beban pembelajaran (kurikulum) yang berlebihan akan merampas waktu untuk memaknai pengalaman kebersamaan dan menumbuhkan idealisme tentang hidup bersama. Akibatnya, para pelajar dan mahasiswa akan berkembang menjadi hamba ilmu, tenaga atau pekerja siap pakai dan kurang mampu berefleksi secara kritis. Akhirnya, begitu tamat mereka kebingungan mau ngapain.

Sebaik-baik sekolah adalah kehidupan dan sebaik-baik guru adalah pengalaman.

No comments:

Post a Comment