28 October 2016

JADILAH DIRIMU SENDIRI UNTUK BAHAGIA



Banyak orang menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya. Sedangkan kebahagiaan yang sejati, menurut saya hanya dapat diperoleh jika orang mau menjadi dirinya sendiri yang otentik, yang asli dan tidak dilumuri kemunafikan. Meskipun sampai sekarang banyak motivator, pengajar atau buku-buku self-help yang masih mengajarkan orang untuk tidak menjadi dirinya sendiri tetapi menjadi seperti tokoh-tokoh tertentu yang sudah sukses baik di bidang ekonomi maupun kemanusiaan. Inilah yang disebut David Rieman sebagai “individu yang terarah pada individu yang lain” (other-directed individual).

Pengenalan terhadap diri sendiri merupakan syarat utama untuk mencapai hidup yang otentik. Pengenalan diri sendiri dan keberanian untuk menerimanya dengan jujur menjadi awal proses pengembangan diri. Fritz Perls seorang terapis eksistensial berpendapat bahwa, orang yang tidak bisa menjadi otentik dapat dikategorikan sebagai orang yang neurosis. Neurosis sendiri adalah suatu kondisi, di mana orang berusaha melarikan diri dari dirinya sendiri. Orang yang neurosis telah mengorbankan diri mereka sendiri justru untuk mengembangkan dirinya.

Secara lebih luas masyarakat dan dunia sosial keseluruhan mempunyai aturan dan tuntutan, yang seringkali menghalangi orang untuk menjadi dirinya sendiri. “Segala sesuatu di dalam eksistensi sosial”, demikian Guignon, “Menarik kita menjauh dari upaya untuk menjadi diri kita sendiri, untuk alasan sederhana bahwa masyarakat bekerja secara maksimal dengan membuat orang terkurung di dalam mekanisme kehidupan sehari-hari.”

Dunia sosial dan peran sosial yang dipaksakan mendorong orang untuk menjadi tidak otentik. Spiritualitas yang kokoh dan cara pandang yang jernih terhadap realitas merupakan kunci untuk tetap otentik di dalam dunia sosial. Sekaligus keberanian untuk mengatakan tidak untuk segala sesuatu yang ingin mengubah dirinya. Tanpa itu seseorang tidak akan mampu menjadi dirinya sendiri dan akan selalu terombang-ambing dalam kehidupan.

Sesungguhnya di dalam diri setiap orang terdapat jati diri yang sejati, yang membedakan orang tersebut dari orang-orang lainnya. Jati diri yang sejati ini mengandung perasaan-perasaan, kebutuhan-kebutuhan, hasrat-hasrat, kemampuan-kemampuan, dan kreativitas yang membuat orang tertentu unik, jika dibandingkan dengan orang lainnya.

Menurut Guignon, konsep otentisitas memiliki dua aspek pemahaman. Yang pertama adalah pemahaman bahwa untuk menjadi otentik orang perlu menemukan jati diri sejati yang ada di dalam diri melalui proses refleksi. Jika orang mampu mencapai pemahaman penuh tentang dirinya sendiri, barulah ia mampu mencapai eksistensi diri yang otentik. Yang kedua selain menemukan jati diri sejatinya, orang juga perlu mengekspresikan jati diri sejati tersebut di dalam tindakannya ke dunia sosial. Orang perlu untuk menjadi dirinya sendiri di dalam relasinya dengan orang lain. Hanya dengan mengekspresikan jati diri sejatinyalah orang dapat mencapai kepenuhan diri sebagai manusia yang otentik.

Tidak ada orang lain yang mampu memahami perasaan-perasaan kita, selain kita sendiri. Kita juga tidak bisa menuntut orang lain untuk bisa memahami perasaan-perasaan kita tersebut. Yang sering kali terjadi justru kita harus memaksakan diri untuk menyesuaikan perasaan kita dengan orang lain atau masyarakat pada umumnya. Meskipun dalam perjalanan banyak orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial tersebut sehingga menyebabkan dirinya terjerembab dalam krisis identitas yang melelahkan.

Hanya sedikit di antara mereka yang mampu memiliki dorongan personal yang berbeda dengan tuntutan kultural yang dibebankan masyarakat. Mereka bertindak dengan motivasi personal yang tidak memerlukan justifikasi dari dunia sosial. Akibatnya mereka dianggap jahat, asing, aneh, eksentrik, dan sebagainya. Dalam level tertentu mungkin malah dikatakan gila.

03 October 2016

MEMBACA DAN MENULIS SEBAGAI TERAPI DIRI




Kegelisahan dan Kecemasan
Kegelisahan dan kecemasan adalah kondisi psikologis yang tidak sehat. Seseorang merasakan kegelisahan biasanya karena merasa tidak bisa melakukan sesuatu yang akan dikerjakannya pada masa depan. Misalnya, gelisah karena takut tidak mendapat pekerjaan, atau bisa juga gelisah karena merasa tidak bisa mengerjakan tugas dari kampus dan kantornya. Rasa gelisah timbul ketika pikiran kita sudah dimasuki rasa negatif yang begitu tinggi akan sesuatu, sehingga rasa percaya diri akan hilang. Intinya, gelisah itu timbul karena kita merasa takut tidak bisa mengerjakan kewajiban kita sehingga takut pula untuk kehilangan haknya.
Sedangkan kecemasan berakar dari perasaan kewalahan akibat begitu banyak hal-hal kecil yang perlu diselesaikan. Jika dilihat satu persatu, setiap hal di dalam daftar panjang yang wajib diselesaikan tidak cukup untuk menjadi sumber stres, tetapi gabungan dari tumpukan tugas-tugas kecil akan berujung dengan beban yang memicu kegelisahan. Menangani masalah dengan cara meyakinkan diri sendiri bahwa kita memiliki kekuatan untuk menyelesaikan masalah satu per satu dapat membantu kita mengurangi kegelisahan dengan segera.
Sejumlah sumber kecemasan tidak bisa hilang dalam waktu dekat. Penyakit, masalah keuangan, masalah hubungan pribadi, dan sumber-sumber permanen kecemasan lain yang tidak mudah diatasi, tetapi berpikir mengenai hal tersebut dengan cara yang berbeda mampu mengurangi stres dan ketakutan yang ditimbulkannya.
Membiarkan perasaan cemas terpendam di dalam diri adalah potensi untuk serangan kecemasan. Mendiskusikan perasaan kita dengan orang lain adalah langkah yang sangat penting. Kita bisa mendapatkan perspektif dari orang lain, dan bahkan mungkin mendapatkan sejumlah ide yang baik untuk memecahkan sebagian masalah yang kita hadapi. Tidak mudah menemukan sosok yang bisa diajak berdiskusi. Akan tetapi ada bentuk lain untuk itu, yaitu dengan cara meminta nasehat dari buku (membaca), dan mengenali diri dan permasalahan dir sendiri dengan cara menulis apa yang kita rasakan dan kemudian membacanya. 

Membaca sebagai Terapi Diri
Penelitian Profesor Blake Morrison, seorang profesor penulisan kreatif dan kehidupan, terhadap ratusan biografi, surat, puisi, dan novel mengungkapkan hal menarik. Temuannya mengindikasikan bahwa sejumlah penulis, ketika membutuhkan katarsis atau kenyamanan, ternyata membaca buku.
Dengan membaca, seseorang bisa mengenali dirinya melalui tulisan orang lain yang mempunyai pengalaman yang sama dengan dirinya. Ketika membaca dia akan ikut merasakan sambil bergumam, “Ya, itu pengalamanku juga”. Dengan membaca seseorang akan mendapatkan banyak sudut pandang atau perspektif dalam menyikapi suatu hal.
Membaca adalah kegiatan yang melibatkan panca indera mata, pikiran, dan perasaan. Isi bacaan akan menggiring kita kepada keadaan tertentu. Sementara itu, informasi yang diperoleh dari kegiatan membaca juga menambah wawasan, menjadi masukan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dengan demikian, kegiatan membaca dapat mendorong sesorang untuk berperilaku lebih positif.
Manfaat membaca dalam fungsinya sebagai terapi yaitu: Pertama, sangat baik untuk kesehatan otak, untuk melatih kemampuan berpikir agar tidak tumpul, sehingga akan punya kemampuan berpikir yang bagus. Kedua, menjauhkan diri dari penyakit alzheimer/pikun, sebab membaca dapat meningkatkan daya ikat otak. Latihan otak seperti membaca buku atau majalah, bermain teka-teki silang, Sudoku, dan sejenisnya dapat mencegah kehilangan memori di otak, sehingga akan merangsang sel-sel otak menjadi segar. Ketiga, mencegah dan menghilangkan stres. Membaca buku yang diminati, bisa menurunkan tingkat hormon stres yang tidak sehat. Keempat, membaca sangat bermanfaat untuk kesehatan mental dan jiwa kita, karena memberikan kepuasan dan ketenangan jiwa.
Membaca juga akan mendorong seseorang untuk berpikir positif. Akan sangat berbeda ketika seseorang yang sedang mengalami masalah berat langsung melampiaskannya dengan sikap negatif atau langsung bercerita kepada orang lain, atau mencoba mencari solusinya melalui sumber bacaan. Pilihan terakhir akan lebih memberi solusi dan manfaat jangka panjang, sebab dengan membaca sumber yang terpercaya (baik bacaan tercetak maupun elektronik), akan membimbing seseorang dalam menyelesaikan masalahnya. Sumber bacaan juga bisa sebagai sarana untuk berkonsultasi dengan orang lain (penulis), sehingga konsultasi tidak sekedar searah namun interaktif, sehingga akan lebih menguatkan kesehatan mental dan jiwa kita. 

Menulis sebagai Terapi Diri
Penelitian awal tentang manfaat menulis ekspresif dilakukan oleh Pennebaker & Beal tahun 1986 di Amerika. Hasilnya menyebutkan bahwa kebiasaan menulis tentang pengalaman hidup yang berharga dapat menurunkan masalah kesehatan. Kauffman & Kauffman (2009: 3) mengungkapkan bahwa menulis berkait dengan hasrat (passion), ide (idea), imajinasi (imagination), intuisi (intuition), wawasan (insight), introversi (introversion) dan keterbukaan dalam pengalaman (openness to experiences).
Beberapa penelitian yang lainnya menyebutkan bahwa menulis sebagai fungsi pelepas ketegangan atau katarsis yang ada di dalam diri dalam jangka panjang dapat menurunkan stres, meningkatkan sistem imun, menurunkan tekanan darah, mempengaruhi mood, merasa lebih bahagia, bekerja dengan lebih baik dan mengurangi tanda-tanda depresi. Sedangkan dalam aspek sosial dan perilaku, menulis dapat meningkatkan memori, nilai rata-rata siswa sekolah, dan kemampuan sosio-linguistik.  
Ada pula penelitian yang menyatakan bahwa dengan menulis, emosi yang terhambat dapat muncul ke permukaan. Menulis akan membuat orang menghadapi siapa diri mereka dan mengetahui apa yang ingin mereka capai. Selain itu, menulis menghasilkan penilaian diri yang lebih jujur. Karena menulis adalah konkretisasi dari berpikir (Kellog, 1994: 14).
Penelitian lain menunjukkan bahwa menulis dapat mengubah cara berpikir seseorang menjadi lebih adaptif dan positif dengan berbagai perubahan yang ada. Terakhir, kegiatan menulis yang dilakukan secara terus-menerus dapat menurunkan respons negatif pada ingatan-ingatan traumatis. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, ternyata menulis ternyata bukan sekedar media untuk menuangkan ide dan gagasan. Menulis juga sebagai terapi untuk kesehatan fisik dan mental.
Socrates menyatakan dengan ungkapannya yang terkenal ‘kenalilah dirimu’ sebelum mengenali orang lain. Menulis adalah proses untuk mengenali diri sendiri. Seseorang yang menulis sebenarnya merepresentasikan proyeksi diri. Orang yang tipe melankolis akan cenderung menulis karya yang murung, gelap dan penuh kesengsaraan (Wellek & Warren, 1990). Seseorang yang bertipe introvert akan mengisahkan tentang dunia keintrovertannya dalam tulisan-tulisannya, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sebaliknya, seseorang yang ekstrovert akan mengisahkan tentang dunia keekstrovertannya dalam tulisan-tulisannya. Sebagian karya-karya masterpiece dari penulis dunia bahkan ditulis bukan karena tuntutan akademis atau karir tetapi karena tuntutan untuk melepaskan hambatan-hambatan psikologis dalam dirinya
Psikolog Katharina Amelia Hirawan mengemukakan bahwa menulis merupakan sebuah terapi terutama bagi penderita gangguan psikologis. Bahkan seorang Psikolog dari Universitas New South Wales, Keren Baikie mengemukakan bahwa ketika kita menuliskan peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan, emosi dan bersifat traumatis, kesehatan fisik dan mental kita dapat menjadi lebih baik dibandingkan ketika kita menulis dengan topik yang netral. Kesimpulan ini merupakan hasil studi Keren Baikie dengan meminta semua partisipannya untuk menuliskan tiga sampai lima peristiwa dalam waktu 15 menit dan hasilnya benar-benar signifikan.
Jika dilakukan dalam jangka panjang terapi diri dengan membaca dan menulis ini mampu mengurangi kadar stres, mempersingkat waktu perawatan ketika sakit, mengurangi tekanan darah, meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, meningkatkan mood, mengurangi trauma dan meningkatkan kebahagiaan.